BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkembangan peradaban dan
kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode
pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya.
Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak
pejabat. Kecenderungan bermewah-mewah ditambah dengan kelemahan khalifah dan
faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menadi
miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional untuk mengambil
kendali pemerintah. Usaha mereka berhasil sehingga kekuasaan sesungguhnya
berada ditangan mereka. Sementara kekuasaan bani abbasiyah di dalam khalifah
Abbasiyah yang didirikan mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan
dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat
ratus tahun.
Akibat dari kebijakan yang lebih menekankan pembinaan
peradaban dan kebudayaa islam dari persoalan politk itu, provinsi-provinsi tertentu
dipinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi
dalam salah satu dari dua cara: pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu
pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh. Kedua, seorang yang
ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat,
seperti daulah Aghlabiyah di Tunisia.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang menyebabkan disintegrasi pada dinasti Abbasiyah?
2. Apa
saja dinasti-dinasti kecil yang memisahkan diri dari Khilafah Abbasiyah?
C.
Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui penyebab disintegrasi pada dinasti Abbasiyah?
2. Untuk
mengetahui dinasti-dinasti kecil yang memisahkan diri dari Khilafah Abbasiyah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Disintegrasi pada Dinasti Abbasiyah
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di
pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas, dengan berbagai cara
di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka
berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di
akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi berbicara tentang
politik Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan antara
pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan
Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar
dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak
seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan
dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol
dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat
sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam kenyataannya,
banyak daerah tidak dikuasai khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di
bawah kekuasaan gubernur-gubernur propinsi bersangkutan. Hubungannya dengan
khilafah ditandai dengan pembayaran pajak.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan
pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tertentu, dengan pembayaran upeti itu.
Alasannya adalah :
- Para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya,
- Penguasa Bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam daripada persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di
pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi
dalam salah satu dari dua cara:
- Seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulah Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko.
- Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyyah di Khurasan.
Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko,
propinsi-propinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama mereka
menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan
yang muncul. Namun pada saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan
diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menggerogoti kekuasaan khalifah,
tetapi beberapa di antaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut Ibnu Khaldun, sebenarnya keruntuhan kekuasaan
Bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin
bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di
propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen. Kekuatan
militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para
penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang profesional di bidang kemiliteran,
khususnya tentara Turki
dengan sistem perbudakan baru seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota
militer Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya teryata menjadi ancaman besar
terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti
Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu'u arabiyah
(kebangsaan/anti Arab).
Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan
politik, disamping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya, para khalifah
tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan
itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti
dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan
fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri
dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Masa disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani
Abbasiyah mencapai masa keemasannya, pada masa berikutnya pemerintahan dinasti
ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Dimana salah satu sebabnya
adalah kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan kelemahan khalifah dalam
memimpin roda pemerintahan.
Berakhirnya kekuasaan Dinasti
Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode
kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah
kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri.
Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil.
Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di
Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan
kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang
Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang
berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru
dalam sejarah Islam,
yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa
kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab
kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat
pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat,
benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas
terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai
kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur
roda pemerintahan
B.
Dinasti-dinasti
Kecil yang Memisahkan Diri Dari Khilafah Abbasiyah
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan
orang-orang Persia.
Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa
Bani Umayyah
berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri,
dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun,
ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada
orang-orang Arab.
- Sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu.
- Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka
menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara
itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah
darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam).
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat
luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan
dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu
tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut
dengan kuat. Akibatnya, disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme
bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa.
Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak
bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab
dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba.
Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki.
Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah
milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan
khalifah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah
dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para
khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan,
stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil,
seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung
lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan
berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada
periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk pada periode keempat,
sebagaimana diuraikan terdahulu.
Munculnya dinasti-dinasti yang lahir dan ada yang melepaskan diri dari
kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
Yang berbangsa Persia:
- Bani Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
- Bani Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
- Bani Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
- Bani Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).
- Bani Buwaih, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M).
Yang berbangsa Turki:
- Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).
- Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).
- Ghaznawiyah di Afganistan, (351-585 H/962-1189 M).
- Bani Seljuk/Salajiqah dan cabang-cabangnya:
a) Seljuk besar,
atau Seljuk Agung,
didirikan oleh Rukn al-Din Abu
Thalib Tuqhril Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq.
Seljuk ini menguasai Baghdad
dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522H/1037-1127 M). Dan
Sulthan Alib Arselan
Rahimahullah memenangkan Perang Salib ke I atas kaisar Romanus IV
dan berhasil menawannya.
Yang berbangsa Kurdi:
- al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).
- Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M).
- al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1250 M), didirikan oleh Sulthan Shalahuddin al-ayyubi setelah keberhasilannya memenangkan Perang Salib periode ke III.
Yang berbangsa Arab:
- Idrisiyyah di Maghrib, (172-375 H/788-985 M).
- Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).
- Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).
- 'Alawiyah di Thabaristan, (250-316 H/864-928 M).
- Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).
- Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
- Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).
- Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).
Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan
antarbangsa, terutama antara Arab, Persia dan Turki. Disamping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti
itu juga dilatar belakangi paham keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi'ah
maupun Sunni.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa dinasti-dinasti kecil tersebut.
1. Dinasti Tahiriyah
Saat
dinasti-dinasti kecil –sebagian besar dari arab- memecah wilayah kekuasaan di
barat , proses yang sama juga tengah terjadi di timur , terutama di lakukan
oleh orang turki dan persia.
Dinasti
yang pertama mendirikan sebuah negara semi indepeden disebelah timur Baghdad
adalah orang yang pernah dipercaya oleh Al-Ma’mun untuk menduduki jabatan
jendral, yakni Thahir bin Al-Husayn dari Khurassan, yang secara gemilang
berhasil memimpin balatentara untuk melawan Al-Amin. Dalam perang ini, Thahir
si mata satu itu di ceritakan sangat lihai menggunakan pedang dengan kedua
tangannya, sehingga Al-Ma’mun menjulukinya Dzulyaminain (bertangan kanan
dua)
Thahir
adalah keturunan budak Persia, pada tahun 820 M diangkat oleh Al-Mamun sebagai
gubernur atas semua kawasan di sebelah Timur Baghdad dengan pusat kekuasaannya
di Khurassan. Meski secara formal para penerus Thohir adalah pengikut khalifah,
mereka memperluas wilayah kekuasaannya hingga perbatasan India. Mereka
memindahkan pusat pemerintahan ke Naisabur, dan disitu mereka berkuasa sampai
tahun 872 H, sebelum akhirnya digantikan oleh Dinasti Saffarriyah.
2. Dinasti Saffariyah
Dinasti Saffariyah, yang bermula di Sijistan dan berkuasa di Persia,
didirikan oleh Yakub bin al Laits al shaffar. Al saffar menjadikan pengrajin
tembaga sebagai pekerjaannya dan merampok sebagai kegemarannya. Perilakunya
yang sopan dan efesien sebagai seorang kepala gerombolan perampok telah menarik
perhatian gubernur sijistan, yang kelak memeberinya kepercayaan untuk memimpin
balatentaranya. Al Saffar akhirnya menggantikan gubernur itu dan berhasil
memperluas wilayah kekuasaan hampir ke seluruh Persia dan kawasan pinggiran
India, bahkan mengancam kekuasaan Baghdad yang berada di bawah pimpinan
Khalifah al-Mu’tamid.
3.
Dinasti Samaniyah
Keluarga Samaniyah dari Transoxiana dan Persia adalah orang-orang
keturunan saman, yaitu seorang bangsawan dari Balkh. Pendiri dinasti ini adalah
Nashr bin Ahmad, cucu dari saman, tetapi figur yang menegakkan kekuasaan
dinasti ini adalah saudara Nashr, yaitu Ismail yang pada tahun 900 H, berhasil
merebut Khurassan dari genggaman dinasti Saffarriyah[15]. Ketika berada dibawah
kepemimpinan Nashr II ( Ibn Ahmad ) yang berada di garis keturunan ke 4
Sammaniyah yang pada awalnya merupakan kelompok para gubernur muslim dibawah
kekuasaan Dinasti Tahirriyah, berhasil memperluas kerajaan hingga Sijistan,
Karman, Jurjan, Rayyi, dan Tabaristan. Dimata Baghdad, Sanawiyah adalah para
amlr (gubernur) atau bahkan amil, tetapi di mata rakyat, kekuasaan mereka tak
terbantahkan. Pada masa ini pula, ilmuanwan muslim yang termansyur, al-razi
mempersembahkan karya utamanya dalam dunia kedokteran, berjudul al-Mansyur.
Pada masa ini pula, pada periode Nuh II yang mengajukan pengembangan ilmu
pengetahuan, Ibn Sina muda tinggal di Bukhara dan memperoleh mengakses
buku-buku. Disanalah ia memperoleh lmu-ilmu yang tak ada habisnya. Sejak masa
media ekspresi sastera, dan berkat para penulis itulah sastra muslim Persia
yang cenderung mulai berkembang.
Kendati merupakan dinasti yang paling cerah, Samaniyah tidak terlepas
dari kekurangan yang terbukti telah menghancurkan dinasti-dinasti lain pada
priode yang sama, selain persoalann beasa yang muncul dari pergolakan
aristokrasi militer dan situasi sulit menyangkut suksesi pemerintahan , muncul
juga ancaman baru , yakni pengembara dari turki yang bergerak menuju
utara. Bahkan di dalam negara sendiri kekuasaan berangsu –angsur di ambil
oleh budak budak turki , yang justru merupakan golongan yang sereng di adili
oleh penguasa samaniah.
Salah satu wilayah samaniah , sebelah selatan oxus, perlahan di caplok
oleh dinasti gaznawi, yang berkuasa di bawah pimpinan salah satu budak turki.
Wilayah sebelah utara sungai di rampas oleh ilek (ilaq) khan dari turkistan.
Yang pada 992 merebut bukhara dan tujuh tahun kemudian melakukan caoup
de grace terhadap dinasti samaniah yang riwayatnya sudah berakhir.pertikaian
antara orang iran dan turki yang memperebutkan hak atas wilayah perbatasan
islam pada abad keempat hijriah merupakan prolog bagi situasi yang lebih gawat.
Setelah ini kita akan melihat orang2 turki memainkan perannya yang semakin
penting dalam urusan dunia sampai mereka akhirnya menyerap sebagian
besar kekuasaan khalifah bagdad dan kemudian mendirikan kekhalifahan
sendri yaitu dinasti usmani.
4.
Dinasti Buwaihiyyah
Dinasti Buwaihiyyah berdiri tahun 320-447M yang berasal dari tiga
bersaudara: Ahmad, Ali, dan Hasan, adalah putra seorang pencari ikan (nelayan)
miskin yang bernama Abu Shuja’ Buwaih, berasal dari wilayah Dailam, negeri yang
terletak di barat daya dari laut Kaspia dan telah tunduk pada kekuasaan Islam
sejak masa khalifah Umar Ibn Khattab. Mereka bertiga bermula sebagai militer
sebelum menjadi gubernur dan pejabat penting, yang akhirnya menguasai Baghdad
ketika terjadi kemelut politik antara wazir dan para pemimpin militer tentang
kedudukan amir al-umara,di ibu kota Abbasiyah itu. Ahmad ibn Buwaih yang
memusatkan kekuasaanya di Ahwaz diminta untuk datang ke Baghdad oleh kepala
militer tahun 334 untuk menyelesaikan krisis politik itu,dan disanggupinya. Ia
diterima oleh khalifah al-Mustakfi dengan senang dan langsung diberi kekuasaan
sebagai amir al-umara dengan gelar Mu’izud Daulah, sedangkan saudaranya, Ali
yang berpusat di Syiraz diberi gelar Imadud Daulah dan hasan yang berkuasa
disebelah utara (Isfahan, Ray) digelari dengan Ruknud Daulah.
5.
Dinasti Thuluniyah
Thuluniyah adalah sebuah dinasti yang muncul dan berkuasa di Mesir dan
Suriah, independent dari khalifah-khalifah Abbasiyah. Ia merupakan sebuah
kerajaan yang mendapat kuasa otonomi dari kerajaan pusat di Bagdad. Kerajaan
ini memerintah Mesir dan Suria di antara tahun 254 – 292 H / 868 – 905 M dan pendirinya
ialah Ahmad bin Tulun, seorang panglima Turki.
Pendiri Dinasti Thulun yang berumur pendek (Daulah 868-905) di Mesir
dan Suriah adalah Ahmad Ibn Thulun. Ahmad bin Thulun Lahir 23 Ramadhan 220 abad
ke-3 Hijriah.
Dinasti Thulun adalah dinasti kesultanan Mesir pertama dan berhasil
memasukkan Syria ke dalam wilayah kekuasaannya. Awal garis keturunan Thulun
adalah seorang budak yang dihadiahkan kepada Khalifah Ma’mun dari Dinasti
Abbasiah oleh seorang penguasa dari Bukhara.
Putra Thulun, yaitu Ahmad bin Thulun mendirikan dinasti raja-raja yang
berkuasadiMesir danSyria dari tahun 254 hingga 292 H. Kemampuan militernya yang
menonjol menjadikanThulun terpilih sebagai anggota pasukan khusus pengawal
Khalifah. Meski termasuk dalam jajaran pembesar militer, literatur sejarah tak
pernah mencatat keterlibatanThulun dalam peristiwa revolusi yang dilakukan oleh
budak-budak berkebangsaan Turki pasca meninggalnya al-Mu’tashim tahun 842 M.
Ayahnya adalah seorang turki dari Farghanah, Pada 817 dipersembahkan
oleh penguasa Samaniyah di Bukhara sebagai hadiah untuk al-Ma’mun. Pada 868,
Ahmad berangkat ke Mesir sebagai pimpinan tentara untk gubernur mesir. Di sini
ia segera berusaha mendapatkan kemerdekaan dirinya. Ketika menghadapi tekanan
keuangan karena adanya pembrontakan wangsa zanj, Khalifah al-Mu’tamid (870-892)
meminta bantuan finansial kepada komandan pasukannya yang orang mesir itu,
tetapi permintaan itu tidak dipenuhi. Peristiwa ini menjadi titik balik yang
mengubah sejarah kehidpan Mesir selanjutnya. Peristiwa ini juga menandai
bangkitmya sebuah Negara merdeka dilembah sungai Nil yang kedaulatannya bertahan
selama abad pertengahan.
Pada tahun 254 H/868 M, Ibn Tulun dihantar ke Mesir sebagai wakil
pemerintahan. Semasa Baghdad mengalami krisis, Ibn Tulun memanfaatkan situasi
ini dan kemudian melepaskan Baghdad.Dalam membangun negeri, beliau menciptakan
stabilitas keamanan dalam negeri. Selepas itu ia memperhatikan juga, di bidang
ekonomi. Dalam bidang keamanan, ia membangun angkatan perang, dengan kekuatan
tentaranya, memperluas wilayahnya hingga ke Syam.Selepas Ibn Tulun (279 H/884
M), kepemimpinan diteruskan oleh Khumarawaih (270 H/884 M), Jaisy (282 H /896
M), Harun (283 H/896 M) dan Syaiban (292 H/905 M).
Kematian Khumarawih pada 895 (282H) merupakan awal kemunduran dinasti
itu. Persaingan yang hebat antara unsure-unsur pembesar dinasti telah memecah
persatuan dalam dinasti. Amir yang ketiga, Abu al-Asakir bin khumarawih,
dilawan oleh sebagian pasukannya dan dapat disingkirkan (896/283 H) Adiknya
yang baru berusia 14 tahun, Harun bin Khumarawih, diangkat sebagai amir yang
keempat. Akan tetapi kelemahan sudah sedemikian rupa, sehingga wilayah syam
dapat direbut oleh pasukan Qaramitah. Amirnya yang kelima , Syaiban bin Ahmad
bin thulun, hanya 12 hari saja memerintah, karena ia menyerah ke tangan pasukan
Bani Abbas yang menyerang Mesirpada 905 (292H), dan demikian berakhirlah
riwayat dinasti Thuluniyah.
6.
Dinasti Ikhsyidiyah
Dinasti Ikhsyidiyah berdiri pada tahun 323-358M.yang didirikan oleh
Muhammad Ibn Tugj yang berasal dari Turki, berkuasa di Mesir setelah
Tuluniyah.Ibn Tugj menjadi gubernur Mesir sebagai hadiah dari Abbasiyah setelah
dapat mempertahankan wilayah Nil itu dari serangan kaum Fatimiyah yang berpusat
di Afrika Utara. Ia diberi gelar Ikhsyid yang berarti pangeran atau penguasa
menurut istilah yang biasa dipakai di Sogdia dan Fargana, oleh khalifah ar-Radi
yang Abbasi itu. Ia mempertahankan gelar Amir al-Umara, panglima tertinggi bagi
khalifah.Serangan bertubi-tubi dari Fatimiyah sepanjang pemerintahan Ikhsyidiyah
menyebabkan dinasti ini tidak lama memegang tampuk kekuasaan di Mesir,dan pada
akhirnya Ikhsyidiyah menyerah kalah terhadap Fatimiyah yang telah menguat di
Afrika Utara, di bawah panglimanya, Jauhar as-Siqili.
Pada tahun 358 H/969 M, kerajaan Ikhsidi berakhir. Sejarah sumbangan
kerajaan ini, ilmu pengetahuan dan budaya, lahirlah ilmuan seperti abu Ishaq
al-Mawazi, Hasan ibn Rasyid al-Mishri dll. Ikhsidi juga mewariskan bangunan
megah seperti Istana al-Mukhtar di Raudah dan Taman Bustan al-Kafuri.
7.
Dinasti Ghazwaniyah
Salah satu wilayah Samaniyah, sebelah selatan oxus, perlahan-lahan di
caplok oleh Dinasti Ghaznawi, yang berkuasa di bawah pimpinan salah satu budak
Turki. Kebangkitan Dinasti Ghaznawi mempresentasikan kemenangan pertama Turki
dalam persaingan dengan Iran untuk mencapai kekuasaan dalam islam. Meski dengan
demikian, kekuasaan Ghanawi sama sekalli tidak berbeda dengan kekuasaan
Samaniyyah atau Saffariyah.
Ghazawi tidak ditopang dengan angkatan bersenjata, maka semuanya segara
menemui kehancuran. wilayah-wilayah kekuasaan disebelah timur berangsur-angsur
memisahkan diri dan muncullah dinasti-dinasti muslim independen[19], di utara
dan barat seperti Dinasti Khan dari Thurkistan dan Saljuk dari Persia. Keduanya
memisahkan diri dari kekuasaan gaznawi , di bagian tengah , dinasti
ghuriah yang tangguh dar afganistan membrontah dan pada 1186 berhasil
mengahncurkan pijakan gaznawi yang terakhir di lahore.
8.
Dinasti Idrisiyah
Di Maroko berdiri dinasti Idrisiyah, pada tahun 172-314 M, yang didirikan
oleh Muhammad ibn Idris yang beraliran Syi’ah. Sebelum dikuasai dinasti
idrisiyah wilayah tersebut didominasi oleh kaum Khawarij. Idris adalah cicit
Hasan ibn Ali ibn Abi Talib yang ikut memberontak terhadap Abbasiyah di Hijaz
tahun 169 M,dan melarikan diri ke Mesir sebelum mencapai Maroko. Ia diangkat
sebagai pemimpin kaum Berber zenata, dan menjadikan Fez sebagai ibu kotanya, diatas
reruntuhan kota Romawi kuno, Volabulis. Kota baru itu berkembang dengan pesat, padat
penduduknya dengan berbondong-bondongnya para emigran Muslim baik dari afrika
maupun dari Andalusia ke pusat pemerintahan Idrisiyah tersebut. Fez menjadi
pusat kaum Syorfa atau Syurafa (bentuk jamak dari syarif,orang mulia), yakni
para keturunan cucu Nabi SAW, Hasan dan Husain ibn Ali ibn Abi Thalib, yang
menjadi factor penting dalam sejarah perkembangan Maroko. Kekuasaan Idrisiyah
yang ada dikota-kota, tanpa menguasai desa-desa akhirnya terpecah-pecah dimasa
pemimpin mereka, Muhammad al-Muntasir pada tahun 213-221.Kekuaaan mereka dibagi-bagikan
kepada saudara-saudara al-muntasir yang banyak jumlahnya. Musuh-musuh mereka
yang terdiri dari suku Berber, dengan mudah dapat memukulnya. Disamping itu
muncul pula ancaman musuh yang lebih besar, yakni Daulah Fatimiyah yang
dipimpin oleh Mahdi Ubaidillah. Yahya IV (292-310) terpaksa mengakui kekuasaan
Fatimiyah, dan Fez dapat diduduki oleh dinasti baru yang bercorak Syi’ah
tersebut pada tahun 309. Baru menjelang akhir pemerintahannya,Idrisiyah dapat
menguasai pelosok Maroko. Tetapi bani umaiyah yang berkuasa diSpanyol memukul
Idrisiyah tahun 363 dan keluarga terakhir dinasti yang kalah itu dibawa ke
Cordova.Tiga atau empat dasawarsa setelah jatuhnya bangsa yang beraliran Syi’ah
itu berdiri lagi keluarga jauh dari Idrisiyah,yakni Hammudiyah yang berkuasa di
Algeciras dan Malaga sebagai salah satu penguasa dari Muluk at-Tawaif.
9.
Dinasti Hamdaniyah
Ketika kerajaan Ikhsidiyah berkuasa di Utara Mesir, muncul kerajaan
lain yaitu kerajaan Hamdaniyah yang berpaham Syiah. Nama kerajaan berasal dari
nama pendirinya yaitu, Hamdan ibn Hamdun, yang berasal dari suku Arab Taghlib. Kerajaan
ini terbagi menjadi dua pihak, Mosul dan Aleppo.
Pihak Mosul dengan para pemerintahannya:
a)
Abu al-Hayja Abdullah (293 H/905
M)
b)
Nashir al-Daulah al-Hasan (17
H/929 M)
c)
Uddad al-daulah Abu taghlib (358
H/ 969 M)
d)
Ibrahim dan Al-Husein (379-389
H/981-991 M)
Pihak Alleppo dengan pemerintahannya seperti:
a)
Saif al-daulah Ali (33 H/945)
b)
Sa’d al-daulah syarif I (356 H/967
M)
c)
Sa’id al-daulah sa’id (381 H/991
M)
d)
Ali II (392 H /1002 M)
e)
Syarif II (394 H/1004 M)
Kerajaan Hamdani terkenal sebagai pelindung sastra Arab terutama Saif
al-Daulah. Beberapa tokoh ternama seperti al-Farabi, Al-Isfahani dan Abu
al-Firus. Kerajaan Hamdani adalah benteng kekuatan dari pada serangan Rom ke
wilayah kekuasaan islam.
Selepas tahun 356 H dan 358 H, kerajaan Hamdani merosot dari
tangan-tangan penggantinya. Pada umumnya mereka saling berebut kekuasaan antara
keluarga sendiri. Akibatnya mereka jatuh ke tangan Kerajaan Fatamiah.
10.
Dinasti Aghlabiyah
Dinasti
Aghlabiyah adalah salah satu Dinasti Islam di Afrika Utara yang berkuasa selama
kurang lebih l00 tahun (800-909 M). Wilayah kekuasaannya meliputi Ifriqiyah, Algeria
dan Sisilia. Dinasti ini didirikan oleh Ibnu Aghlab (Mufradi, 1997:116). Para penguasa
Dinasti Aghlabiyah yang pernah memerintah adalah sebagai berikut:
a) Ibrahim
I ibn al-Aghlab (800-812 M)
b) Abdullah
I (8l2-817 M)
c) Ziyadatullah
(817-838 M)
d) Abu
‘Iqal al-Aghlab (838-841 M)
e) Muhammad
I(841-856 M)
f) Ahmad
(856-863 M)
g) Ziyadatullah
(863- M)
h) Abu
Ghasaniq Muhammad II (863-875 M)
i)
Ibrahim II (875-902 M)
j)
Abdullah II (902-903 M)
k) Ziyadatullah
III (903-909 M)
Aghlabiyah
memang merupakan Dinasti kecil pada masa Abbasiyah, yang para penguasanya
adalah berasal dari keluarga Bani al-Aghlab, sehingga Dinasti tersebut dinamakan
Aghlabiyah. Awal mula terbentuknya Dinasti tersebut yaitu ketika Baghdad di bawah
pemerintahan Harun ar-Rasyid. Di bagian Barat Afrika Utara, terdapat dua bahaya
besar yang mengancam kewibawaannya. Pertama dari Dinasti Idris yang
beraliran Syi’ah dan yang kedua dari golongan Khawarij.
Dengan
adanya dua ancaman tersebut terdoronglah Harun ar-Rasyid untuk menempatkan
balatentaranya di Ifrikiah di bawah pimpinan Ibrahim bin Al-Aghlab. Setelah berhasil
mengamankan wilayah tersebut, Ibrahim bin al-Aghlab mengusulkan kepada Harun
ar-Rasyid supaya wilayah tersebut dihadiahkan kepadanya dan anak keturunannya secara
permanen. Karena jika hal itu terjadi, maka ia tidak hanya mengamankan dan memerintah
wilayah tersebut, akan tetapi juga mengirim upeti ke Baghdad setiap tahunnya sebesar
40.000 dinar. Harun ar-Rasyid menyetujui usulannya, sehingga berdirilah Dinasti
kecil (Aghlabiyah) yang berpusat di Ifrikiah yang mempunyai hak otonomi penuh.
Meskipun demikian masih tetap mengakui akan kekhalifahan Baghdad (Hoeve,1994: 65).
Pendiri
Dinasti ini adalah Ibrahim ibn al-Aghlab pada tahun 800 M. Pada tahun itu Ibrahim
diberi provinsi Ifriqiyah (Tunisia Modern) oleh Harun al-Rasyid sebagai imbalan
atas pajak tahunan yang besarnya 40.000 dinar dan meliputi hak-hak otonom yang
besar (Bosworth,1980:.46). Untuk menaklukkan wilayah baru dibutuhkan suatu
proses yang panjang dan perjuangan yang besar, namun tidak seperti Ifriqiyyah
yang sifatnya adalah pemberian.
Dinasti
Aglabiyah berkuasa kurang lebih dari satu abad, mulai dari tahun 800-909 M. Nama
Dinasti Aglabiyah ini diambil dari nama ayah Amir yang pertama, yaitu Ibrahim
bin al-Aglab. Ia adalah seorang pejabat Khurasan dalam militer Abbasiyah. Pada
tahun 800 M. Ibrahim I diangkat sebagai Gubernur (Amir) di Tunisia oleh
Khalifah Harun ar-Rasyid. Karena ia sangat pandai menjaga hubungan dengan
Khalifah Abbasiyah seperti membayar pajak tahunan yang besar, maka Ibrahimi I
diberi kekuasaan oleh Khalifah, meliputi hak-hak otonomi yang besar seperti
kebijaksanaan politik, termasuk menentukan penggantinya tanpa campur tangan
dari penguasa Abbasiyah. Hal ini dikarenakan jarak yang cukup jauh antara
Afrika Utara dengan Bagdad. Sehingga Aglabiyah tidak terusik oleh pemerintahan Abbasiyah.
Pemerintahan
Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak yang muncul dari Kharijiyah
Barbar di wilayah mereka. Kemudian di bawah Ziyadatullah I, Aglabiyah dapat merebut
pulau yang terdekat dari Tunisia, yaitu Sisilia dari tangan Byzantium 827 M, dipimpin
oleh panglima Asad bin Furat, dengan mengerahkan panglima laut yang terdiri dari
900 tentara berkuda dan 10.000 orang pasukan jalan kaki. Inilah ekspedisi laut terbesar.
Ini juga peperangan akhir yang dipimpin panglima Asad bin Furad karena itu, ia meninggal
dalam pertempuran. Selain untuk memperluas wilayah penaklukan terhadap Sicilia
juga bertujuan untuk berjihad melawan orang-orang kafir. Wilayah tersebut
menjadi pusat penting bagi penyebaran peradaban Islam ke Eropa Kristen.
Aspek
yang menarik pada Dinasti Aghlabiyah adalah ekspedisi lautnya yang menjelajahi
pulau-pulau di Laut Tengah dan pantai-pantai Eropa seperti pantai Italia Selatan,
Sardinia, Corsica, dan Alpen. Selain itu juga berhasil menaklukan kota-kota
pantai Itali, Brindisi, Napoli, Calabria, Totonto, Bari, dan Benevento. Dan
pada tahun 868 M, mampu menduduki Malpa. Dengan berhasilnya
penaklukan-penaklukan di atas Dinasti Aghlabiyah menjadi Dinasti yang kaya,
sehingga para penguasa Aghlabiyah antusias dalam bidang pembangunan.
Keberhasilan
penguasaan seluruh pulau Sisilia inilah yang membuat Aglabiyah unggul di
Mediterania Tengah. Kemudian Aglabiyah melanjutkan serangan-serangannya ke pulau
lainnya dan pantai-pantai di Eropa, termasuk berhasil menaklukan kota-kota
pantai Italia Brindisi (836/221 H.) Napoli (837M), Calabria (838 M), Toronto
(840 M ), Bari (840 M), dan Benevento (840 M). Karena tidak tahan terhadap
serangan berkepanjangan dari pasukan Aghlabiyah pada Bandar-bandar Itali, termasuk
kota Roma, maka Paus Yohanes VIII (872– 840 M) terpaksa minta perdamaian dan
bersedia membayar upeti sebanyak 25.000 uang perak pertahun kepada Aglabiyah.
Pasukan
Aglabiyah juga berhasil menguasai kota Regusa di pantai Yugoslavia (890 M), Pulau
Malta (869 M), menyerang pulau Corsika dan Mayorka, bahkan mengusai kota Portofino
di pantai Barat Italia (890), kota Athena di Yunani-pun berada dalam jangkauan penyerangan
mereka.
Dengan
keberhasilan penaklukan-penaklukan tersebut, menjadikan Dinasti Aglabiyah kaya
raya, para penguasa bersemangat membagun Tunisia dan Sisilia. Ziyadatullah I membangun
masjid Agung Qairuan, sedangkan Amir Ahmad membangun masjid Agung Tunis dan
juga membangun hampir 10.000 benteng pertahanan di Afrika Utara. Tidak cukup
itu, jalan-jalan, pos-pos, armada angkutan, irigasi untuk pertanian (khususnya
di Tunisia Selatan, yang tanahnya kurang subur), demikian pula perkembangan
arsitektur, ilmu, seni dan kehidupan keberagamaan.
Selain
sebagai ibu kota Dinasti Aghlabiyah, Qoiruan juga sebagai pusat penting munculnya
mazhab Maliki, tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, seperti Sahnun yang
wafat (854 M) pengarang mudawwanat, kitab fiqih Maliki, Yusuf bin Yahya, yang
wafat (901 M), Abu Zakariah al-Kinani, yang wafat (902 M), dan Isa bin Muslim,
wafat (908 M). Karya-karya para ulama-ulama pada masa Dinasti Aghlabiyah ini
tersimpan baik di Masjid Agung Qairuan.
a) Langkah-langkah
Pemimpin Aghlabiyah
1) Penguasa
Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak Kharijiyah Berber di wilayah
mereka.
2) Dilanjutkan
dengan dimulainya proyek besar merebut Sisilia dari tangan Bizantium pada tahun
827 M, dibawah Ziadatullah I yang amat cakap dan energik, dengan meredakan
oposisi internal di Ifriqiyyah yang dilakukan Fuqaha’ (pemimpin–pemimpin religius)
Maliki di Qayrawan (Cairovan). Disamping itu, suatu armada bajak laut dikerahkan,
sehingga membuat Aghlabiyah unggul di Mediterania Tengah dan membuat mereka
mampu mengusik pantai Italia Selatan, Sardinia, Corsica, dan Meriteran Alp.
Kemudian Aghlabiah juga berhasil merebut Malta pada tahun 868 M. Daerah-daerah
tersebut yang menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Aghlabiyah. Dengan demikian,
pada tahun 878 M sempurnalah penguasaan atas Sisilia, kemudian pulau itu
dibawah pemerintahan Muslim. Pertama di bawah kekuasaan Aghlabiyah dan kedua
di bawah Gubernur-Gubernur Fathimiyah, sampai penaklukan oleh Norman pada
abad XI. Pulau itu menjadi pusat bagi penyebaran kultur Islam ke Eropa Kristen.
b) Peninggalan-peninggalan
Bersejarah Dinasti Aghlabiah
Aghlabiyah
adalah pembangun yang penuh semangat. Diantara bangunan-bangunan peninggalan
Aghlabiah adalah:
1) Pembangunan
kembali Masjid Agung Qayrawan oleh Ziyadatullah I.
2) Pembangunan
Masjid Agung Tunis oleh Ahmad.
3) Pembangunan
karya-karya pertanian dan irigasi yang bermanfaat, khususnya di Ifriqiyah
selatan yang kurang subur.
c) Kemunduran
Dinasti Aghlabiyah
Menjelang
akhir abad IX, posisi Aghlabiah di Ifqriqiyah menjadi merosot. Hal ini disebabkan
karena amir terakhirnya yaitu Ziyadatullah III tenggelam dalam kemewahan (berfoya-foya),
dan seluruh pembesarnya tertarik pada Syi’ah, juga propaganda Syi’iah, Abu Abdullah.
Perintis Fatimiyah, Mahdi Ubaidillah mempunyai pengaruh yang cukup besar di Barbar,
yang akhirnya menimbulkan pemberontakan militer, dan Dinasti Aghlabiyah dikalahkan
oleh Fatimiyah (909 M), Ziyadatullah III di usir ke Mesir setelah melakukan upaya-upaya
yang sia-sia demi untuk mendapatkan bantuan dari Abbasiah untuk menyelamatkan
Aghlabiah (Bosworth,1993:47).
11. Dinasti
Fatimiyah
Fatimiyah
merupakan Dinasti Syi’ah Isma’iliyah yang pendirinya adalah Ubaidillah
al-Mahdi yang datang dari Syiria ke Afrika Utara yang menisbahkan nasabnya
sampai ke Fatimah putri Rasulullah dan isteri Khalifah keempat Ali bin Abi
Thalib. Karena itu menamakan Dinasti Fatimiyah (Hoeve, 1994: 8). Namun kalangan
Sunni mengatakan Ubaidiyun. Konsep yang digunakan adalah Syi’ah radikal
Isma’iliyah dengan doktrin-doktrinnya yang berdimensi politik, agama,
filsafat, dan sosial. Serta para pengikutnya mengharapkan kemunculan al–Mahdy.
Ubaidillah
dengan dukungan kaum Barbar, pertama dapat mengalahkan Gubernur-Gubernur
Aghlabiyah di Ifriqia, Rustinia Khoriji di Tahar dan menjadikan Idrisiyah Fez sebagai
bawahannya, saat pemerintah pertama kali ialah di al-Mahdiyah sekitar Qairawan yang
kemudian Fatimiyah mengembangkan sayapnya ke daerah sekitarnya serta menduduki
Mesir yang kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Kairo (al-Qohirah “yang
berjaya”) atas prakarsa jenderal Jauhar Atsaqoli (Mufrodi,1997: 116).
Dalam
bersaing dengan pemerintahan Abbasiyah, Fatimiyah memindahkan ibukotanya dari
al-Mahdi ke Kairo. Dan Juga memberi gelar kepada Khalifah-Khalifah Fatimiyah
sebagai Khalifah sejati. Begitu juga dia menyebarkan dai-dainya keluar Mesir yang
mereka itu lulusan dari Universitas al-Azhar. Pada masa pemerintahan Fatimiyah timbul
perang Salib dan muncul gerakan-gerakan Syi’ah yang ekstrim yang disebut Druze yang
dipimpin oleh Darazi (Bosworth, 1993: 71).
Fathimiyyah
adalah Dinasti syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khalifah atau imam di Afrika dan
Mesir tahun 909–1171 M, selama lebih kurang 262 tahun. Para kahlifah tersebut
adalah:
1. ‘Ubaidillah
al Mahdi (909-924 M)
2. Al–Qa’im
(924-946 M)
3. Al–Manshur
(946-953 M)
4. Al–Mu’izz
(953-975 M)
5. Al–‘Aziz
(975-996 M)
6. Al–Hakim
(996-1021 M)
7. Azh–Zhahir
(1021-1036 M)
8. Al–Musthansir
(1036-1094 M)
9. Al
Musta’li (1094-1101 M)
10. Al–Amir
(1101-1131 M)
11. Al–Hafizh
(1131-1149 M)
12. Azh–Zhafir
(1149-1154 M)
13. Al–Faiz
(1154-1160 M)
14. Al–‘Adhid
(1160–1171 M)
Namun
sejak tahun 1131 M, merupakan masa peralihan pemerintahan dari “Khalifah” ke
“wali”. Hal ini terjadi ketika Dinasti Fatimiyah diperintah oleh al–Hafizh (sebagai
wali bukan sebagai Khalifah).
Pada
tahun 1094 M, setelah al-Muntasir wafat, terjadi perpecahan dalam gerakan Isma’iliyah,
yaitu kelompok Nizar yang sangat ekstrim dan Musta’ali yang lebih moderat. Dia
mempertahankan kekhalifahan, namun basis kespiritualan lebih banyak melemah. Berdirinya
Dinasti ini bermula menjelang abad ke-X, ketika kekuasaan Bani Abbasiyah di
Baghdad mulai melemah dan wilayah kekuasaannya yang luas tidak terkordinir
lagi. Kondisi seperti inilah yang telah membuka peluang bagi munculnya Dinasti-Dinasti
kecil di daerah-daerah, terutama di daerah yang Gubernur dan sultannya memiliki
tentara sendiri. Kondisi ini telah menyulut pemberontakan-pemberontakan dari kelompok-kelompok
yang selama ini merasa tertindas serta memberi kesempatan bagi kelompok Syi’ah,
Khawarij, dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik.
Dinasti
Fathimiyah bukan hanya sebuah wilayah gubernuran yang independen, melainkan
juga merupakan sebuah rezim revolusioner yang mengklaim otoritas universal. Mereka
mendeklarasikan adanya konsep imamah yakni para pemimpin dari keturunan
Ali yang mengharuskan sebuah redefinisi mengenai pergantian sejarah Imam atau
mengenai siklus eskatologis sejarah.
Dinasti
Fathimiyah berkuasa mulai (909–1173 M) atau kurang lebih 3 abad lamanya. Dinasti
ini mengaku keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Fatimah az-Zahro. Kelompok
Syi’ah berpendapat bahwa Ismail bin Ja’far as-Sadiq yang wafat (765 M), bukannya
Musa saudaranya Ismail, yang berperan sebagai imam ketujuh menggantikan ayah
mereka (imam Ja’far). Berdasarkan kepemimpinan Ismail inilah sebuah gerakan politik
keagamaan Ad da’wah Fatimiyah diorganisir. Gerakan ini berhasil merealisir pertama
kali pembentukan pemerintahan Syi’i yang eksklusif. Sedangkan kebanyakan kaum
sunni yang mengatakan bahwa Dinasti Fatimiyah keturunan dari Ubaidillah
al-Mahdi, disebut Dinasti Ubaydiun (Khalifah I Dinasti Fatimiyah) dan berasal
dari Yahudi.
Gerakan
Syi’ah Fatimiyah ini membuktikan pada Dunia, bahwa potensi doktrin mesianik dan
sentralistik. Walaupun Syi’ah menganggap Ismail sebagai Imam mereka, tetapi
Isma’il tidak berperan secara independen, karena ia mati muda, bahkan sebelum ayahnya
(Imam Ja’far). Kondisi inipun tidak menghalangi perkembangan doktrin Ismaili, dengan
dominasi dari bani Abbasiyah, karena dua golongan ini merasa bersaudara. Ini berangkat
dari Umul Fadhl pernah menyusui Husain anak Fatimah dan Ali, ketika ia melahirkan
Dotham. Jadi menurut mereka bani Abbasiyah dan Syi’ah Fatimiyah merupakan
saudara sesusuan.
Keberhasilan
menancapkan doktrin Ismaili, dalam perkembangannya mampu memberi perlindungan
imam-imam mereka di Salamiyah, Siria dan telah memudahkan pengorganisasian
dakwah Fatimiyah. Meskipun dakwah Fatimiyah ini dimulai sejak dini, namun baru
pada masa Abu Ubaidillah Husein, generasi keempat setelah Ismaili, baru mulai
berkembang pesat. Doktrin dakwah populer yang disebarkan pada saat itu ialah berhaknya
anak Ubaidillah atas posisi penyelamat (al-Mahdi). Doktrin ini menggunakan sistem
jaringan para agen (du’ah jamak dari da’i), sehingga sangat
efektif dan terorganisir secara rapi.
Ubaidillah
yang memimpin dakwahnya dari Salamiyah dan Siria ke Afrika Utara, dimana
propaganda Syi’ah telah berkembang dengan pesat. Ia memimpin dakwahnya dengan
memenangkan dukungan luas dari daerah-daerah yang kurang diperhatikan oleh Kholifah
Abbasiyah. Lewat da’i seperti Ali bin Fadl al-Yamani dan Ibnu al-Hawsyab
al-Kufy, Yaman, termasuk ibu kotanya, dapat direbut. Dengan dikuasainya Yaman,
ia dapat menyebarkan para da’i ke berbagai daerah, termasuk Afrika Utara,
belahan timur antara Arabia dan India. Juga Afrika Barat dengan da’i Abu
Abdullah asy-Syi’i. Yang mengemukakan konsep akan datangnya Imam Mahdi , dari
keturunan Nabi. Para da’i tersebut akhirnya berhasil menjadikan kaum Barbar
sebagai pendukung kepemimpinan Ubaidillah al-Mahdi. Selanjutnya, atas dukungan
besar inilah, asy-Syi’i berhasil menduduki Roaqadah, pusat pemerintahan Dinasti
Aghlabiyah. Akhirnya al-Mahdi yang baru menggantikan ayahnya, datang ke Tunis
untuk dinobatkan sebagai Khalifah (909 M).
Karena
tidak menguasai daerah kekuasaannya, maka ia banyak menggantungkan pada da’i,
seperti asy-Syi’i. Namun karena yang disebut belakangan rupanya banyak memberikan
harapan dan konsesi terhadap penduduk lokal, maka ia dianggap kurang memenuhi
program al-Mahdi yang luas. Kemudian al-Mahdi membersihkan figur-figur yang dicurigai,
termasuk asy-Syi’i. Dalam masa pemerintahannya, untuk memperluas kekuasaannya,
yang bermaksud memberikan kompensasi pada kaum Barbar, ia mengadakan ekspedisi
wilayah laut tengah, seperti; Genoa, Sisilia, Mesir. Keberhasilan pemerintahan
Fatimiyah ini ditandai dengan pindahnya pusat pemerintahan ke Kairo. Hampir
seluruh daerah Afrika Utara bagian Barat dapat dikuasai Fatimi, terutama
setelah menaklukan wilayah Maghrib yang dipimpin Jawhar asy-Siqilli (969 M) dan
menaklukkan Dinasti terakhir di Fusthath Ikhsyidiyyah. Disana juga mulai membangun
ibu kota baru di Mesir, yaitu al-Qohirah (970 M) serta Masjid al-Azhar sebagai pusat
pendidikan para da’i dan Khalifah al Muizz pindah ke ibu kota baru tahun (973
M).
Dinasti
Fatimiyah ini akhirnya makin berkembang dalam berbagai aspek kehidupan, karena
ditopang dengan kekuasaan yang luas dan mampu membangkitkan berbagai macam aksi
yang bersifat wacanis (keilmuan), perdagangan, keagamaan, walaupun peralihan
kekuasaan ke wilayah timur, berlahan-lahan melenyapkan kekuasaan mereka dibagian
Barat. Terbukti, wakil mereka di Tunis, Bani Ziri (1041 M) menyatakan tak terikat
dengan pemerintahan Fatimiyah.
Pada
masa pemerintahan al-Mustanshir (1036-1094 M) Dinasti Fatimiyah mencapai puncak
kekuasaannya setelah terlibat konflik dengan Yunani tentang masalah Suriah.
Para Khalifah Fatimi umumnya membina hubungan damai dengan Byizantium, kemudian
bersatu karena ancaman-ancaman Petualang Seljuk dan Trukmen di Suriah dan
Anatholia pada abad II. Tetapi pada akhir abad 11 terjadi aksi Salib I yang
mengancam penguasa-penguasa Turki Suriah. Para Khalifah Fatimiyah, pada
pertengahan abad 12 bekerja sama dengan Dinasti Zangiyyah; Nuruddin dari Aleppo
dan Damasqus untuk melawan tentara Salib (The Crusaders II). Setelah Ascalon
jatuh ke tangan tentara Salib, Dinasti Fatimiyah mulai terpecah-belah. Para
Khalifah kehilangan kekuasaan dan para Wazirnya (Gubernur) memegang
kepemimpinan ekskutif dan militer. Dari sini Dinasti Fatimiyah di akhiri oleh serangan
Sahadin (Shalahudin), keponakan yang cakap sebagai pengganti Syirkuh yang menguasai
Mesir (1173 M) di bawah pemerintahan Nuruddin putra Zangi dari Dinasti Ayyubiyah.
Sekitar
tahun 1171 M, Dinasti Fatimiyah ini berakhir. Dinasti ini banyak mencapai kemajuan
peradaban dan peningkatan ekonomi dan penyebab kemunduran dan kehancuran
Fatimiyah disebabkan karena perpecahan di antara para khalifahnya (Glasse,1996:43).
a)
Perjalanan Pemerintahan
Menurut
As’adi (2001:77), dalam perjalanan pemerintahannya, Daulah Fathimiyyah melalui
dua fase, yaitu :
1)
Fase Konsolidasi
(969-1021 M)
Pada fase ini sempat terjadi perang
saudara antara Turki dan Barbar, yang keduanya merupakan kelompok yang turut
mendirikan Dinasti Fathimiyyah. Barbar memberikan dukungan sepenuhnya kepada
Daulah Fathimiyyah karena awalnya Barbar-lah yang mengusai anggota
pemerintahan. Banyak diantara bangsa Barbar yang diangkat menjadi pemerintahan.
Keadaan ini berlangsung sampai masa pemerintahan Al – Muizz li Dinillah. Sedangkan
pada masa pemerintahan Az Zahir dan Al – Munthasir Khalifah lebih dekat dengan
keturunan Turki. Sehingga muncullah dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar, sejak
saat itulah Barbar kehilangan kedudukan dalam pemerintahan. Untuk lebih
mengenal keadaan dalam fase ini, baik tentang pemimpin/Khalifah, roda pemerintahan,
kebijakan pemerintah, dan situasi yang dihadapinya, akan dijelaskan sebagai
berikut:
Al–Mahdi
(909-924 M)
Ubaidillah
al–Mahdi adalah Khalifah pertama Dinasti Fathimiyyah. Ia datang dari Afrika
Utara, dimana propaganda Syi’i telah menciptakan kondisi yang baik bagi kedatangannya.
Dengan dukungan kaum Barbar Ketama, dan menumbangkan Gubernur-Gubernur
Aghlabiyah di Ifriqiyyah dan Rustamiyah Khariji di Tahari, dan menjadikan Idrisiyah
Fez sebagai penguasa bawahannya.
Pada
tahun 909 M, dialah yang memproklamasikan berdirinya khilafah Fathimiyyah yang
terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia dibantu oleh Abdullah Asy-Syafi’i dalam mengkonsolidasikan
khilafahannya di Tunisia. Dalam proses tersebut, pada tahun 920 M, ia telah berhasil
mendirikan sebuah kota yang baru dan dijadikan sebagai ibukota, yaitu Mahdiah
yang terletak di pesisir pantai Tunisia. Selama menjalankan pemerintahannya, ia
telah berhasil menghalau para pemberontak yang dipimpin oleh Abu Abdullah al
Husyain dan memperluas wilayahnya sampai propinsi Fez di Maroko bahkan telah
merebut Alexandria. Perlawanan juga datang dari kelompok pendukung Abbasiyah,
kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umaiyah di Andalusia maupun kelompok
Khawarij dan Barbar (Hoeve, 1994:10).
Al–Qa’im
((924-946 M)
Setelah
al–Mahdi meninggal, ia diganti oleh putranya yang bernama Abdul Qasim dan bergelar
Al–Qa’im. Ia meneruskan kebijakan yang diambil ayahnya dengan mengirimkan armadanya
dan mampu menghancurkan pesisir selatan Perancis, Genoa dan sepanjang pesisir
Calabria tahun 934 M. Akan Tetapi ia tidak berhasil dalam memadamkan pemberontakan
oleh Abu Yazid yang berlangsung selama tujuh tahun. Abu Yazid yang berulangkali
menaklukan pasukan Al–Qa’im akhirnya berhasil mengepung Susa. Dengan wafatnya
Al–Qa’im pada tahun 946 M, maka berakhirlah kekuasaannya dan dilanjutkan oleh
putranya Al–Manshur.
Al–Manshur
(946-953 M)
Perjuangan
yang dilakukan oleh ayahnya telah mencapai keberhasilan yang gemilang dibawah
kekuasaannya. Ia adalah seorang pemuda yang cerdik dan energik hingga ia berhasil
menghentikan pemberontakan Abu Yazid yang terjadi di masa pemerintahan ayahnya.
Ia berhasil menundukkan Abu Yazid dan pasukannya. Bahkan mereka turut membantu
ekspansi hingga ke seluruh Afrika, disanalah ia membuat kota yang diberi nama
al–Mashuriyah.
Al–Mu’iz
(953-975 M)
Keberhasilan
yang telah dicapai Al–Manshur dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abu Tamim
Ma’ad dengan gelar al Mu’iz. Ia telah membuat pencerahan pada Dinasti Fathimiyyah,
dengan melaksanakan kebijaksanaan besar, yaitu :
·
Pembaharuan dalam
bidang administrasi dengan mengangkat seorang wazir (menteri) untuk
melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.
·
Pembangunan ekonomi,
dengan memberi gaji khusus pada tentara, personalia istana, dan pejabat
pemerintahan lainnya.
·
Toleransi beragama
(juga aliran) dengan mengadakan empat lembaga, peradilan di Mesir, dua untuk
madhab syi’ah dan untuk madhab sunni (Yatim,1993: 282).
Setelah
basis kekuasaan di Tunis kuat, Khalifah Fathimiyyah dapat menguasai Mesir pada
tahun 969 M. Penguasaan ini diawali dengan diutusnya panglima Jauhar al–Katib
as–Siqili dengan perlengkapan dan kekayaan yang diperoleh dari basis mereka di
Ifriqiyah sebagai persiapan ke arah Timur. Jauhar berhasil memasuki Fustat dan
menyingkirkan Dinasti Ikhsidiyyah. Setelah Mesir dapat dikuasai, ia membangun
sebuah ibukota baru di Mesir yaitu Kairo Baru (al–Qahirah,artinya yang berjaya)
(Bosworth, 1993: 71).
Kairo
dibangun dengan sejumlah istana kebesaran dan masjid-masjid agung yang merupakan
sebuah kota kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan (Lapidus,
1999: 536). Masjid itu adalah masjid Al Azhar yang berfungsi sebagai pusat pengkajian
Islam dan pengembangan ilmu pengetahuan dan selanjutnya masjid ini menjadi sebuah
akademik dan pada kurun waktu itu Al Azhar menjadi Universitas yang sangat terkenal
dikalangan akademik (As’adi, 2001:115).
Selama
23 tahun, masa kepemimpinan al-Mu’iz, pemerintahannya berjalan gemilang. Ia
meninggal pada tahun 975 M. Dialah Khalifah termashur dalam kekhalifahan Fathimiyyah
di Mesir. Ia mempunyai kelebihan–kelebihan baik di bidang seni, satra dan pengajaran
ditambah dengan pengetahuannya yang luas, maka tidak heran jika pada masa Al–Muiz
inilah awal kemajuan Fathimiyyah.
Al–‘Aziz
(975-996 M)
Al–Aziz
putra Al–Muiz dengan sifat pemberani, bijaksana, penyayang, ramah dan pendamai
membuatnya berhasil mengadakan ekspansi wilayah secara besar-besaran. Seluruh
Syiria sebagian Mesopotamia, dan dari pesisir Eupharates sampai Atlantik telah berhasil
dikuasainya, bahkan saat itu Fathimiyyah menjadi rival yang berat bagi
Abbasiyah di Baghdad.
Rupanya
ia mewarisi keahlian ayahnya dibidang seni. Ini tampak pada arsitektur Golde
Palace (tempat yang sangat indah), The Perl Pavilion (Paviliun yang luasannya
banyak terbuat dari mutiara) dan masjid ayahnya di kuburan Karava. Pada masa
inilah Dinasti Fathimiyyah mencapai puncak kejayaannya.
Al-Hakim
(996-1021 M)
Al–Hakim
adalah seorang penguasa yang sangat kejam, ia membunuh sejumlah tokoh kerajaan
tanpa alasan. Ini disebabkan karena usianya yang masih muda (11 tahun) ketika menjadi
penguasa menggantikan ayahnya pada tahun 996 M, sehingga dengan mudah gubernurnya
yang tak bermoral yang bernama Barjawan dapat menguasainya dengan penuh.
Pada
awal pemerintahannya, tidak ada kestabilan. Secara komparatif kaum Kristen dan
Yahudi diperlakukan dengan baik. Bahkan sebagian dari mereka menduduki jabatan yang
tinggi dalam negara. Selama pemerintahan Al–Hakimlah gerakan religius Syi’i
yang ekstrem, yaitu Druze muncul di Suriah Selatan dan Lebanon, karena Al–Hakim
memberikan semangat pada pendirinya, yaitu da’i Al–Darazi, maka Druze memandang
Khalifah Al–Hakim sebagai titisan Tuhan (Bosworth, 1993:72).
Meskipun
kekejaman mewarnai kekhalifahannya, ia berhasil membangun banyak masjid, dan
bangunan yang paling terkenal sampai sekarang yaitu Dar al-Hikmah yang dibangun
tahun 1306 M, tempat bertemunya berbagai pujangga dan mempromosikan pendidikan
dan Syiah.
2) Fase
Parlementer
Setelah
melalui fase konsolidasi, selanjutnya Dinasti Fathimiyyah memasuki fase parlementer.
Suatu fase dimana banyak sekali muncul permasalahan–permasalahan yang rumit
sebagai suatu kelanjutan dari kekuasaan/kejayaan yang dicapai pada fase konsolidasi.
Masa ini disebut juga dengan “Ahdu Mufuzil Awzara” atau masa pengaruh menteri-menteri
mulai dari Az Zahir, sampai dengan Al ‘Adhid. Pada fase ini memperlihatkan
kemunduran tatanan politik, yakni periode peperangan antar fraksi-fraksi
militer dan pembagian negeri ini menjadi sejumlah iqta’ yang dikuasai oleh
pejabat-pejabat-pejabat militer yang berpengaruh (Lapidus, 1999: 538).
Sebuah
peperangan telah terjadi dalam fase ini yakni perang Salib. Perang yang terjadi
di awal kekuasaan al-Munthasir ini diawali dengan ekspansi yang dilakukan Fathimiyyah
dari Mesir sampai ke Palestina dan Syiria. Perang Salib semula terbentuk dari
serangan balik bangsa Eropa yang bersifat umum terhadap kekuatan Muslim di
wilayah Laut Tengah. Terjadinya aksi Salib (Crusade) pertama pada akhir
abad kelima, dan ini lebih mengancam penguasa-penguasa Turki di Syiria daripada
Fathimiyyah, karena sebetulnya saat itu Fathimiyyah tidak menguasai wilayah di
Utara Asealon di Palestina. Melalui jalur laut dan darat pasukan Eropa bergerak
ke arah timur. Antara 1099-1109 M mereka menaklukan Edessa, Antioch, dan
Tripoli, dan mendirikan sebuah kerajaan Latin di Yerussalem. Dewan pendeta
Latin menguasai pemerintahan Kristen di kota suci ini, tetapi sekte-sekte Kristen
timur tidak disisihkan begitu saja.
Respon
Muslim terhadap perang Salib ini cukup lamban, bahkan respon tersebut cenderung
pada upaya pengaturan Mesir dan Syiria kedalam sebuah imperium Muslim. Daerah-daerah
yang merasa tidak mampu menghadapi ancaman perang Salib membuka pintu untuk
mengadakan kerjasama militer dengan negara-negara Islam lainnya. Namun secara
bertahap serangan balik Muslim semakin gencar yang dapat digambarkan melalui
tiga fase (Lapidus, 1999:542). Fase pertama terjadi sebelum Fathimiyyah
ditaklukan oleh Ayyubiyah. Sedangkan pada fase kedua dan ketiga Nur Al Din sudah
mulai berkuasa.
2. Kemunduran Dinasti Fatimiyah
Sesudah
berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz, pamor Dinasti Fatimiyyah mulai menurun.
Kalaupun pada masa al-Munthasir sempat mengalami kejayaan, itu tidaklah seperti
apa yang telah dicapai oleh al-Aziz.
Adapun
faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Dinasti Fathimiyah adalah:
·
Para penguasa yang
selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah.
·
Adanya pemaksaan
ideologi Syi’ah kepada masyarakat yang mayoritas Sunni.
·
Terjadinya persaingan
perebutan wazir.
·
Kondisi al-‘Adhid
(dalam keadaan sakit) yang dimanfaatkan oleh Nur ad-Din.
Dalam
kondisi khilafah yang sedang lemah, konflik kepentingan yang berkepanjangan diantara
pejabat dan militer. Merasa tidak sanggup, akhirnya al-Zafir meminta bantuan kepada
Nur al-Din dengan pasukan yang dipimpin oleh Salah al-Din Al-Ayyubi. Mula-mula ia
berhasil membendung invasi tentara Salib ke Mesir. Akan tetapi kedatangan Salah
al Din untuk yang kedua kalinya tidak hanya memerangi pasukan Salib, tetapi
untuk menguasai Mesir.
Dengan
dikalahkannya tentara Salib sekaligus dikuasainya Mesir, maka berakhirlah riwayat
Dinasti Fatimiyah di Mesir pada tahun 1171 M yang telah bertahan selama 262 tahun.
3.
Kemajuan-Kemajuan
Dinasti Fatimiyah
Selama
kurun waktu 262 tahun, Fatimiyah telah mencapai kemajuan yang pesat terutama
pada masa Al-Muiz, Al-Aziz dan Al-hakim. Kemajuan-kemajuan itu mencakup
berbagai bidang, yaitu:
·
Kemajuan dalam hubungan
perdagangan dengan Dunia non Islam, termasuk India dan negeri-negeri
Mediteramia yang Kristen.
·
Kemajuan di bidang
seni, dapat dilihat pada sejumlah dekorasi dan arsitektur istana.
·
Dalam bidang
pengetahuan dengan dibangunnya Universitas Al–Azhar.
·
Di bidang ekonomi, baik
sektor pertanian, perdagangan maupun industri.
·
Di bidang keamanan.
4.
Peninggalan Bersejarah
Dinasti Fatimiyah
Di
antara peninggalan Dinasti Fatimiyah, ada dua bangunan yang amat bersejarah dan
keberadaannya hingga kini masih bisa dirasakan, bahkan mengalami perkembangan pesat.
Peninggalan-peninggalan itu adalah:
·
Universitas Al–Azhar
yang semula adalah masjid sebagai pusat kajian. Masjid ini didirikan oleh
al-Saqili pada tanggal 17 Ramadlan (970 M). Nama Al–Azhar diambil dari al-Zahra,
julukan Fatimah, putri Nabi SAW dan istri Ali bin Abi Thalib, imam pertama Syi’ah.
·
Dar al-Hikmah (Hall of
Science), yang terinspirasi dari lembaga yang sama
yang didirikan oleh al-Ma’mun di Baghdad.
12. Dinasti
Ayyubiyah
Ayyubiyah
adalah sebuah Dinasti Sunni yang berkuasa di Dyar Bakir hingga tahun 1429 M.
Dinasti ini didirikan oleh Salahuddin al Ayyubi, wafat tahun 1193 M (Glasse, 1996:143).
Ia berasal dari suku Kurdi Hadzbani, putra Najawddin Ayyub, yang menjadi abdi
dari putra Zangi bernama Nuruddin.
Keberhasilannya
dalam perang Salib, membuat para tentara mengakuinya sebagai pengganti dari
pamannya, Syirkuh yang telah meninggal setelah menguasai Mesir tahun 1169 M. Ia
tetap mempertahankan lembaga–lembaga ilmiah yang didirikan oleh Dinasti Fathimiyah
tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syiah menjadi Sunni (Yatim, 2003:283).
Penaklukan
atas Mesir oleh Salahuddin pada 1171 M, membuka jalan bagi pembentukan
madzhab-madzhab hukum sunni di Mesir. Madzhab Syafi’i tetap bertahan di bawah
pemerintahan Fathimiyah, sebaliknya Salahuddin memberlakukan madzhab-madzhab Hanafi
(Lapidus, 1999:545). Keberhasilannya di Mesir tersebut mendorongnya untuk
menjadi penguasa otonom di Mesir.
Najmudin
Ayub adalah seorang yang berasal dari suku Kurdi Hadzbani dan menjadi panglima
Turki 1138 M, di Mosul dan Aleppo, dibawa pemerintahan Zangi Ibnu Aq-Songur. Demikian
juga adiknya Syirkuh, mengabdi pada Nuruddin, putra Zangi 1169 M. Syirkuh berhasil
mengusir raja Almaric beserta pasukan salibnya dari Mesir. Kedatangan Syirkuh
ke Mesir karena undangan Khalifah Fatimiyah untuk menggusir Almaric yang
menduduki Kairo. Setelah Syirkuh meninggal 1169 M digantikan Shalahuddin
(kaponakannya) sebagai pemimpin pasukan. Pertama-tama ia masih menghormati
simbol-simbol Syi’ah pada pemerintahan Al-Adil Lidinillah, setelah ia diangkat
menjadi Wazir (Gubernur). Tetapi setelah al-Adil meninggal 1171 M, Shalahuddin menyatakan
loyalitasnya kepada Khalifah Abbasiyah (al-Mustadi) di Bagdad dan secara formal
menandai berakhirnya rezim Fatimiyah di Kairo.
Keberhasilan
Shalahuddin di Mesir mendorongnya menjadi penguasa otonom. Dalam mengkosolidasikan
kekuatannya, ia banyak memanfaatkan keluarganya untuk ekspansi ke wilayah lain,
seperti Turansyah. Saudaranya dikirim untuk menguasai Yaman 1173 M. Taqiyuddin,
keponakannya disetting untuk melawan tentara Salib yang menduduki
Dimyat. Sedang Syihabuddin, pamannya, untuk menduduki Mesir Hulu (Nubia).
Kematian Nuruddin 1174 M menjadikan posisi Shalahuddin semakin kuat, yang
akhirnya memudahkan penaklukan Siria, termasuk Damaskus, Aleppo dan Mosul.
Akhirnya pada 1175 M, ia diakui sebagai sultan atas Mesir, Yaman dan Siria oleh
Khalifah Abbasiyah. Di masa pemerintahan Shalahuddin, ia membina kekuatan
militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa Muslim
di kawasan lain. Ia juga mambangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di
Kairo dan bukit Muqattam.
Pasukannya
juga diperkuat oleh pasukan barbar, Turqi dan Afrika. Disamping digalakkan
perdagangan dengan kota-kota dilaut tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan
sistem perpajakan. Atas dasar inilah, ia melancarkan gerakan ofensif guna
merebut al-Quds (Jerusalem) dari tangan tentara Salib yang dipimpin oleh Guy de
Lusignan di Hittin, dan menguasai Jerusalem tahun 1187 M. Inipun tetap tak merubah
kedudukan Shalahuddin, sampai akhirnya raja inggris Richard membuat perjanjian
genjatan senjata yang dimanfaatkannya untuk menguasai kota Acre.
Sampai
ia meninggal (1193 M), Shalahuddin mewariskan pemerintahan yang stabil dan
kokoh, kepada keturunan-keturunannya dan saudaranya yang memerintah diberbagai
kota. Yang paling menonjol ialah al-Malik al-Adil (saudaranya), dan
keponakannya al-Kamil, mereka berhasil menyatukan para penguasa Ayubi lokal
dengan memusatkan pemerintahan mereka di Mesir. Namun pada masa pemerintahan
al-Kamil Dinasti Ayubiyah bertempat di Diyarbakr dan al-Jazirah, mendapat
tekanan dari Dinasti Seljuk Rum dan Dinasti Khiwarazim Syah, kemudian al-Kamil
mengembalikan Jerusalem kepada kaisar Frederick II yang membawa damai dan
keberuntungan ekonomi besar bagi Mesir dan Siria. Hiduplah kembali perdagangan
dengan kekuatan Kristen Mediterrania.
Setelah
al-Kamil meninggal (1238 M) Dinasti Ayubiyah terkoyak oleh
pertentangan-pertentangan intern. Pada pemerintahan Ash-Shalih serangan Salib 6
dapat diatasi, yang pemimpinya raja Prencis St. Louis ditangkap, tetapi
kemudian pasukan budak (Mamluk) dari Turki merebut kekuasaan di Mesir. Ini secara
otomatis mengakhiri pemerintahan Ayubiyah keseluruhan.
a) Langkah-Langkah
Yang Dilakukan Salahuddin
1) Melancarkan
jihad terhadap tentara-tentara Salib di Palestina
2) Mempersatukan
tentara Turki, Kurdi, dan Arab di jalan yang sama.
Dari
Mesir, Shalahuddin juga dapat menyatukan Syiria dan Mesopotamia menjadi sebuah
kesatuan negara Muslim. Pada tahun 1174 ia merebut Damascus, kemudian Alippo tahun
1185, dan merebut Mosul pada 1186.
Setelah
kukuh kekuasaannya Shalahuddin melancarkan gerakan ofensif guna mengambil alih
al-Quds (Jerussalem) dari tangan tentara tanpa banyak kesulitan. Ini berarti
Jerussalem sekali lagi menjadi Muslim setelah delapan puluh tahun, dan orang-orang
Frank tersingkirkan, meskipun hanya untuk sementara. Usaha besar-besaran telah dilakukan
pasukan Salib dari Inggris, Perancis, dan Jerman antara tahun 1189 – 1192 M, namun
tidak berhasil mengubah kedudukan Salahuddin. Setelah perang berakhir, Salahuddin
memindahkan pusat pemerintahan ke Damascus.
b) Perjuangan
Setelah Salahuddin
Perjuangan
Shalahuddin dalam merealisasikan tujuan-tujuan utamanya yaitu mengeluarkan kaum
Salib dari Baitul Maqdis dan mengembalikan pada persatuan umat Islam, telah
menghabiskan kekuatannya dan mengganggu kesehatannya. Ia meninggal dan dimakamkan
di Damaskus pada tahun 1193 M, setelah 25 tahun memerintah.
Sebelum
meninggal, ia membagikan kekaisaran Ayyubiyah kepada para anggota keluarga.
Karena itu pengendalian dari pusat tetap berada di bawah kekuasaan Al-‘Adl dan Al-kamil,
sampai Al-Kamil meninggal. Di bawah kedua sultan ini, kebijaksanaan aktivis Shalahuddin
memberikan tempat sebagai hubungan detente dan damai dengan orangorang Frank.
Setelah
kematian Shalahuddin, Ayyubiyah melanjutkan pemerintahan Mesir dan pemerintahan
Syiria (sampai tahun 1260 M). Keluarga Ayyubiyah membagi imperiumnya menjadi
sejumlah kerajaan kecil Mesir, Damaskus, Alleppo, dan kerajaan Mosul sesuai dengan
gagasan Saljuk bahwa negara merupakan warisan keluarga raja. Meskipun demikian,
Ayyubiyah tidak mengalami perpecahan, karena dengan loyalitas kekeluargaan Mesir
diintegrasikan berbagai imperium. Mereka menata pemerintahan dengan sistem birokrasi
masa lampau yang telah berkembang di negara-negara Mesir dan Syiria melalui distribusi
iqta’ kepada pejabat-pejabat militer yang berpengaruh. Ayyubiyah secara khusus
enggan melanjutkan pertempuran melawan sisa-sisa kekuatan pasukan Salib. Mereka
lebih memprioritaskan untuk mempertahankan Mesir karena kesatuan mulai melemah.
Pada tahun 1229 M Ayyubiyah menegosiasikan sebuah perjanjian dengan Fedrick II.
Ini adalah puncak kebijaksanaan baru, dan pada periode damai inilah membawa
keuntungan ekonomi yang besar bagi Mesir dan Syiria, termasuk hidupnya kembali
perdagangan dengan kekuatan-kekuatan Kristen Mediterania (Bosworth, 1993:87) .
c) Kemunduran
Dinasti Ayyubiyah
Sepeninggal
Al-Kamil tahu 1238 M, Dinasti Ayyubiyah terkoyak oleh pertentangan-pertentangan
intern. Serangan Salib keenam dapat diatasi, dan pimpinannya, Raja Perancis St.
Louis ditangkap. Namun pada tahun 1250 M keluarga Ayyubiyah diruntuhkan oleh
sebuah pemberontakan oleh salah satu resimen budak (Mamluk)nya, yang membunuh penguasa
terakhir Ayyubiyah, dan mengangkat salah seorang pejabat Aybeng menjadi sultan
baru. Keruntuhan ini terjadi di dua tempat, di wilayah Barat Ayyubiyah berakhir
oleh serangan Mamluk, sedangkan di Syiria dihancurkan oleh pasukan Mongol
(Glasse, 1996:552). Dengan demikian berakhirlah riwayat Ayyubiyah oleh Dinasti
Mamluk. Dinasti yang mampu mempertahankan pusat kekuasaan dari serangan bangsa
Mongol.
d)
Kemajuan-Kemajuan Yang
dan Peninggalan Dinasti Ayyubiyah
Sebagaimana
Dinasti-Dinasti sebelumnya, Dinasti Ayyubiyah pun mencapai kemajuan yang
gemilang dan mempunyai beberapa peninggalan bersejarah. Kemajuan-kemajuan itu mencakup
berbagai bidang, diantaranya adalah:
1) Bidang
Arsitektur dan Pendidikan
Penguasa
Ayyubiyah telah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan. Ini
ditandai dengan dibangunnya Madrasah al–Shauhiyyah tahun 1239 M sebagai pusat
pengajaran empat madzhab `hukum dalam sebuah lembaga Madrasah. Dibangunnya Dar
al Hadist al-Kamillah juga dibangun (1222 M) untuk mengajarkan pokok-pokok
hukum yang secara umum terdapat diberbagai madzhab hukum sunni. Sedangkan dalam
bidang arsitek dapat dilihat pada monumen Bangsa Arab, bangunan masjid di
Beirut yang mirip gereja, serta istana-istana yang dibangun menyerupai gereja.
2) Bidang
Filsafat dan Keilmuan
Bukti
konkritnya adalah Adelasd of Bath yang telah diterjemahkan, karya-karya
orang Arab tentang astronomi dan geometri, penerjemahan bidang kedokteran. Di
bidang kedokteran ini telah didirikan sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat
pikiran.
3) Bidang
Industri
Kemajuan
di bidang ini dibuktikan dengan dibuatnya kincir oleh seorang Syiria yang lebih
canggih dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik karpet, pabrik kain dan pabrik
gelas.
4) Bidang
Perdagangan
Bidang
ini membawa pengaruh bagi Eropa dan negara–negara yang dikuasai Ayyubiyah. Di
Eropa terdapat perdagangan agriculture dan industri. Hal ini menimbulkan
perdagangan internasional melalui jalur laut, sejak saat itu Dunia ekonomi dan
perdagangan sudah menggunakan sistem kredit, bank, termasuk Letter of Credit
(LC), bahkan ketika itu sudah ada uang yang terbuat dari emas.
5) Bidang
Militer
Selain
memiliki alat-alat perang seperti kuda, pedang, panah, dan sebagainya, ia juga memiliki
burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Disamping itu,
adanya perang Salib telah membawa dampak positif, keuntungan dibidang industri,
perdagangan, dan intelektual, misalnya dengan adanya irigasi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Latar
belakang disintegrasi pada Dinasti Abbasiyah adalah akibat dari kebijaksanaan
yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada
persoalan politik.
2. Di
antara dinasti-dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada
masa khilafah Abbasiyah, adalah:
Yang
berbangsa Persia:
Yang berbangsa Turki:
·
Seljuk besar,
atau Seljuk Agung,
didirikan oleh Rukn al-Din Abu
Thalib Tuqhril Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq.
Seljuk ini menguasai Baghdad
dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522H/1037-1127 M). Dan
Sulthan Alib Arselan
Rahimahullah memenangkan Perang Salib ke I atas kaisar Romanus IV
dan berhasil menawannya.
Yang berbangsa Kurdi:
c) al-Ayyubiyyah,
(564-648 H/1167-1250 M), didirikan oleh Sulthan Shalahuddin al-ayyubi
setelah keberhasilannya memenangkan Perang Salib periode ke III.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar