"Selamat Datang Di Mo2 inside Revolution Blog. Welcome To Mo2 inside Revolution Blog"

Selasa, 06 Desember 2011

makalah sejarah peradaban islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Kecenderungan bermewah-mewah ditambah dengan kelemahan khalifah dan faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional untuk mengambil kendali pemerintah. Usaha mereka berhasil sehingga kekuasaan sesungguhnya berada ditangan mereka. Sementara kekuasaan bani abbasiyah di dalam khalifah Abbasiyah yang didirikan mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.
Akibat dari kebijakan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaa islam dari persoalan politk itu, provinsi-provinsi tertentu dipinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara: pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh. Kedua, seorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah di Tunisia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang menyebabkan disintegrasi pada dinasti Abbasiyah?
2.      Apa saja dinasti-dinasti kecil yang memisahkan diri dari Khilafah Abbasiyah?
C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui penyebab disintegrasi pada dinasti Abbasiyah?
2.      Untuk mengetahui dinasti-dinasti kecil yang memisahkan diri dari Khilafah Abbasiyah





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Disintegrasi pada Dinasti Abbasiyah
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam kenyataannya, banyak daerah tidak dikuasai khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur propinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khilafah ditandai dengan pembayaran pajak.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tertentu, dengan pembayaran upeti itu. Alasannya adalah :
  1. Para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya,
  2. Penguasa Bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara:
  1. Seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulah Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko.
  2. Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyyah di Khurasan.
Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko, propinsi-propinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa di antaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut Ibnu Khaldun, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen. Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan baru seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya teryata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu'u arabiyah (kebangsaan/anti Arab).
Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, disamping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Masa disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya, pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Dimana salah satu sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan.
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan
B.     Dinasti-dinasti Kecil yang Memisahkan Diri Dari Khilafah Abbasiyah
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab.
  1. Sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu.
  2. Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam).
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk pada periode keempat, sebagaimana diuraikan terdahulu.
Munculnya dinasti-dinasti yang lahir dan ada yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
Yang berbangsa Persia:
  1. Bani Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
  2. Bani Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
  3. Bani Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
  4. Bani Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).
  5. Bani Buwaih, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M).

Yang berbangsa Turki:

  1. Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).
  2. Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).
  3. Ghaznawiyah di Afganistan, (351-585 H/962-1189 M).
  4. Bani Seljuk/Salajiqah dan cabang-cabangnya:
a)      Seljuk besar, atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib Tuqhril Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522H/1037-1127 M). Dan Sulthan Alib Arselan Rahimahullah memenangkan Perang Salib ke I atas kaisar Romanus IV dan berhasil menawannya.
b)      Seljuk Kinnan di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M).
c)      Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M).
d)     Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M).
e)      Seljuk Ruum atau Asia kecil di Asia tengah(Jazirah Anatolia), (470-700 H/1077-1299 M).

Yang berbangsa Kurdi:

  1. al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).
  2. Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M).
  3. al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1250 M), didirikan oleh Sulthan Shalahuddin al-ayyubi setelah keberhasilannya memenangkan Perang Salib periode ke III.

Yang berbangsa Arab:

  1. Idrisiyyah di Maghrib, (172-375 H/788-985 M).
  2. Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).
  3. Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).
  4. 'Alawiyah di Thabaristan, (250-316 H/864-928 M).
  5. Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).
  6. Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
  7. Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).
  8. Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).

Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:

  1. Umayyah di Spanyol.
  2. Fatimiyah di Mesir.
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antarbangsa, terutama antara Arab, Persia dan Turki. Disamping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatar belakangi paham keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi'ah maupun Sunni. Berikut ini akan dijelaskan beberapa dinasti-dinasti kecil tersebut.
1.      Dinasti Tahiriyah
Saat dinasti-dinasti kecil –sebagian besar dari arab- memecah wilayah kekuasaan di barat , proses yang sama juga tengah terjadi di timur , terutama di lakukan oleh orang turki dan persia.
Dinasti yang pertama mendirikan sebuah negara semi indepeden disebelah timur Baghdad adalah orang yang pernah dipercaya oleh Al-Ma’mun untuk menduduki jabatan jendral, yakni Thahir bin Al-Husayn dari Khurassan, yang secara gemilang berhasil memimpin balatentara untuk melawan Al-Amin. Dalam perang ini, Thahir si mata satu itu di ceritakan sangat lihai menggunakan pedang dengan kedua tangannya, sehingga  Al-Ma’mun menjulukinya Dzulyaminain (bertangan kanan dua)
Thahir adalah keturunan budak Persia, pada tahun 820 M diangkat oleh Al-Mamun sebagai gubernur atas semua kawasan di sebelah Timur Baghdad dengan pusat kekuasaannya di Khurassan. Meski secara formal para penerus Thohir adalah pengikut khalifah, mereka memperluas wilayah kekuasaannya hingga perbatasan India. Mereka memindahkan pusat pemerintahan ke Naisabur, dan disitu mereka berkuasa sampai tahun 872 H, sebelum akhirnya digantikan oleh Dinasti Saffarriyah.
2.      Dinasti Saffariyah
Dinasti Saffariyah, yang bermula di Sijistan dan berkuasa di Persia, didirikan oleh Yakub bin al Laits al shaffar. Al saffar menjadikan pengrajin tembaga sebagai pekerjaannya dan merampok sebagai kegemarannya. Perilakunya yang sopan dan efesien sebagai seorang kepala gerombolan perampok telah menarik perhatian gubernur sijistan, yang kelak memeberinya kepercayaan untuk memimpin balatentaranya. Al Saffar akhirnya menggantikan gubernur itu dan berhasil memperluas wilayah kekuasaan hampir ke seluruh Persia dan kawasan pinggiran India, bahkan mengancam kekuasaan Baghdad yang berada di bawah pimpinan Khalifah al-Mu’tamid.
3.      Dinasti Samaniyah
Keluarga Samaniyah dari Transoxiana dan Persia adalah orang-orang keturunan saman, yaitu seorang bangsawan dari Balkh. Pendiri dinasti ini adalah Nashr bin Ahmad, cucu dari saman, tetapi figur yang menegakkan kekuasaan dinasti ini adalah saudara Nashr, yaitu Ismail yang pada tahun 900 H, berhasil merebut Khurassan dari genggaman dinasti Saffarriyah[15]. Ketika berada dibawah kepemimpinan Nashr II ( Ibn Ahmad ) yang berada di garis keturunan ke 4 Sammaniyah yang pada awalnya merupakan kelompok para gubernur muslim dibawah kekuasaan Dinasti Tahirriyah, berhasil memperluas kerajaan hingga Sijistan, Karman, Jurjan, Rayyi, dan Tabaristan. Dimata Baghdad, Sanawiyah adalah para amlr (gubernur) atau bahkan amil, tetapi di mata rakyat, kekuasaan mereka tak terbantahkan. Pada masa ini pula, ilmuanwan muslim yang termansyur, al-razi mempersembahkan karya utamanya dalam dunia kedokteran, berjudul al-Mansyur. Pada masa ini pula, pada periode Nuh II yang mengajukan pengembangan ilmu pengetahuan, Ibn Sina muda tinggal di Bukhara dan memperoleh mengakses buku-buku. Disanalah ia memperoleh lmu-ilmu yang tak ada habisnya. Sejak masa media ekspresi sastera, dan berkat para penulis itulah sastra muslim Persia yang cenderung mulai berkembang.
Kendati merupakan dinasti yang paling cerah, Samaniyah tidak terlepas dari kekurangan yang terbukti telah menghancurkan dinasti-dinasti lain pada priode yang sama, selain persoalann beasa yang muncul dari pergolakan aristokrasi militer dan situasi sulit menyangkut suksesi pemerintahan , muncul juga ancaman baru , yakni pengembara dari turki yang bergerak menuju utara.  Bahkan di dalam negara sendiri kekuasaan berangsu –angsur di ambil oleh budak budak turki , yang justru merupakan golongan yang sereng di adili oleh penguasa samaniah.
Salah satu wilayah samaniah , sebelah selatan oxus, perlahan di caplok oleh dinasti gaznawi, yang berkuasa di bawah pimpinan salah satu budak turki. Wilayah sebelah utara sungai di rampas oleh ilek (ilaq) khan dari turkistan. Yang pada 992 merebut bukhara dan tujuh  tahun kemudian melakukan caoup de  grace terhadap dinasti samaniah  yang riwayatnya sudah berakhir.pertikaian antara orang iran dan turki yang memperebutkan hak atas wilayah perbatasan islam pada abad keempat hijriah merupakan prolog bagi situasi yang lebih gawat. Setelah ini kita akan melihat orang2 turki memainkan perannya yang semakin penting dalam urusan dunia  sampai mereka akhirnya menyerap sebagian besar  kekuasaan khalifah bagdad dan kemudian mendirikan kekhalifahan sendri  yaitu dinasti usmani.
4.      Dinasti Buwaihiyyah
Dinasti Buwaihiyyah berdiri tahun 320-447M yang berasal dari tiga bersaudara: Ahmad, Ali, dan Hasan, adalah putra seorang pencari ikan (nelayan) miskin yang bernama Abu Shuja’ Buwaih, berasal dari wilayah Dailam, negeri yang terletak di barat daya dari laut Kaspia dan telah tunduk pada kekuasaan Islam sejak masa khalifah Umar Ibn Khattab. Mereka bertiga bermula sebagai militer sebelum menjadi gubernur dan pejabat penting, yang akhirnya menguasai Baghdad ketika terjadi kemelut politik antara wazir dan para pemimpin militer tentang kedudukan amir al-umara,di ibu kota Abbasiyah itu. Ahmad ibn Buwaih yang memusatkan kekuasaanya di Ahwaz diminta untuk datang ke Baghdad oleh kepala militer tahun 334 untuk menyelesaikan krisis politik itu,dan disanggupinya. Ia diterima oleh khalifah al-Mustakfi dengan senang dan langsung diberi kekuasaan sebagai amir al-umara dengan gelar Mu’izud Daulah, sedangkan saudaranya, Ali yang berpusat di Syiraz diberi gelar Imadud Daulah dan hasan yang berkuasa disebelah utara (Isfahan, Ray) digelari dengan Ruknud Daulah.
5.      Dinasti Thuluniyah
Thuluniyah adalah sebuah dinasti yang muncul dan berkuasa di Mesir dan Suriah, independent dari khalifah-khalifah Abbasiyah. Ia merupakan sebuah kerajaan yang mendapat kuasa otonomi dari kerajaan pusat di Bagdad. Kerajaan ini memerintah Mesir dan Suria di antara tahun 254 – 292 H / 868 – 905 M dan pendirinya ialah Ahmad bin Tulun, seorang panglima Turki.
Pendiri Dinasti Thulun yang berumur pendek (Daulah 868-905) di Mesir dan Suriah adalah Ahmad Ibn Thulun. Ahmad bin Thulun Lahir 23 Ramadhan 220 abad ke-3 Hijriah.
Dinasti Thulun adalah dinasti kesultanan Mesir pertama dan berhasil memasukkan Syria ke dalam wilayah kekuasaannya. Awal garis keturunan Thulun adalah seorang budak yang dihadiahkan kepada Khalifah Ma’mun dari Dinasti Abbasiah oleh seorang penguasa dari Bukhara.
Putra Thulun, yaitu Ahmad bin Thulun mendirikan dinasti raja-raja yang berkuasadiMesir danSyria dari tahun 254 hingga 292 H. Kemampuan militernya yang menonjol menjadikanThulun terpilih sebagai anggota pasukan khusus pengawal Khalifah. Meski termasuk dalam jajaran pembesar militer, literatur sejarah tak pernah mencatat keterlibatanThulun dalam peristiwa revolusi yang dilakukan oleh budak-budak berkebangsaan Turki pasca meninggalnya al-Mu’tashim tahun 842 M.
Ayahnya adalah seorang turki dari Farghanah, Pada 817 dipersembahkan oleh penguasa Samaniyah di Bukhara sebagai hadiah untuk al-Ma’mun. Pada 868, Ahmad berangkat ke Mesir sebagai pimpinan tentara untk gubernur mesir. Di sini ia segera berusaha mendapatkan kemerdekaan dirinya. Ketika menghadapi tekanan keuangan karena adanya pembrontakan wangsa zanj, Khalifah al-Mu’tamid (870-892) meminta bantuan finansial kepada komandan pasukannya yang orang mesir itu, tetapi permintaan itu tidak dipenuhi. Peristiwa ini menjadi titik balik yang mengubah sejarah kehidpan Mesir selanjutnya. Peristiwa ini juga menandai bangkitmya sebuah Negara merdeka dilembah sungai Nil yang kedaulatannya bertahan selama abad pertengahan.
Pada tahun 254 H/868 M, Ibn Tulun dihantar ke Mesir sebagai wakil pemerintahan. Semasa Baghdad mengalami krisis, Ibn Tulun memanfaatkan situasi ini dan kemudian melepaskan Baghdad.Dalam membangun negeri, beliau menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri. Selepas itu ia memperhatikan juga, di bidang ekonomi. Dalam bidang keamanan, ia membangun angkatan perang, dengan kekuatan tentaranya, memperluas wilayahnya hingga ke Syam.Selepas Ibn Tulun (279 H/884 M), kepemimpinan diteruskan oleh Khumarawaih (270 H/884 M), Jaisy (282 H /896 M), Harun (283 H/896 M) dan Syaiban (292 H/905 M).
Kematian Khumarawih pada 895 (282H) merupakan awal kemunduran dinasti itu. Persaingan yang hebat antara unsure-unsur pembesar dinasti telah memecah persatuan dalam dinasti. Amir yang ketiga, Abu al-Asakir bin khumarawih, dilawan oleh sebagian pasukannya dan dapat disingkirkan (896/283 H) Adiknya yang baru berusia 14 tahun, Harun bin Khumarawih, diangkat sebagai amir yang keempat. Akan tetapi kelemahan sudah sedemikian rupa, sehingga wilayah syam dapat direbut oleh pasukan Qaramitah. Amirnya yang kelima , Syaiban bin Ahmad bin thulun, hanya 12 hari saja memerintah, karena ia menyerah ke tangan pasukan Bani Abbas yang menyerang Mesirpada 905 (292H), dan demikian berakhirlah riwayat dinasti Thuluniyah.
6.      Dinasti Ikhsyidiyah
Dinasti Ikhsyidiyah berdiri pada tahun 323-358M.yang didirikan oleh Muhammad Ibn Tugj yang berasal dari Turki, berkuasa di Mesir setelah Tuluniyah.Ibn Tugj menjadi gubernur Mesir sebagai hadiah dari Abbasiyah setelah dapat mempertahankan wilayah Nil itu dari serangan kaum Fatimiyah yang berpusat di Afrika Utara. Ia diberi gelar Ikhsyid yang berarti pangeran atau penguasa menurut istilah yang biasa dipakai di Sogdia dan Fargana, oleh khalifah ar-Radi yang Abbasi itu. Ia mempertahankan gelar Amir al-Umara, panglima tertinggi bagi khalifah.Serangan bertubi-tubi dari Fatimiyah sepanjang pemerintahan Ikhsyidiyah menyebabkan dinasti ini tidak lama memegang tampuk kekuasaan di Mesir,dan pada akhirnya Ikhsyidiyah menyerah kalah terhadap Fatimiyah yang telah menguat di Afrika Utara, di bawah panglimanya, Jauhar as-Siqili.
Pada tahun 358 H/969 M, kerajaan Ikhsidi berakhir. Sejarah sumbangan kerajaan ini, ilmu pengetahuan dan budaya, lahirlah ilmuan seperti abu Ishaq al-Mawazi, Hasan ibn Rasyid al-Mishri dll. Ikhsidi juga mewariskan bangunan megah seperti Istana al-Mukhtar di Raudah dan Taman Bustan al-Kafuri.
7.      Dinasti Ghazwaniyah
Salah satu wilayah Samaniyah, sebelah selatan oxus, perlahan-lahan di caplok oleh Dinasti Ghaznawi, yang berkuasa di bawah pimpinan salah satu budak Turki. Kebangkitan Dinasti Ghaznawi mempresentasikan kemenangan pertama Turki dalam persaingan dengan Iran untuk mencapai kekuasaan dalam islam. Meski dengan demikian, kekuasaan Ghanawi sama sekalli tidak berbeda dengan kekuasaan Samaniyyah atau Saffariyah.
Ghazawi tidak ditopang dengan angkatan bersenjata, maka semuanya segara menemui kehancuran. wilayah-wilayah kekuasaan disebelah timur berangsur-angsur memisahkan diri dan muncullah dinasti-dinasti muslim independen[19], di utara dan barat seperti Dinasti Khan dari Thurkistan dan Saljuk dari Persia. Keduanya memisahkan diri  dari kekuasaan gaznawi , di bagian tengah , dinasti ghuriah yang tangguh dar afganistan membrontah dan pada 1186 berhasil mengahncurkan pijakan gaznawi yang terakhir di lahore.
8.      Dinasti Idrisiyah
Di Maroko berdiri dinasti Idrisiyah, pada tahun 172-314 M, yang didirikan oleh Muhammad ibn Idris yang beraliran Syi’ah. Sebelum dikuasai dinasti idrisiyah wilayah tersebut didominasi oleh kaum Khawarij. Idris adalah cicit Hasan ibn Ali ibn Abi Talib yang ikut memberontak terhadap Abbasiyah di Hijaz tahun 169 M,dan melarikan diri ke Mesir sebelum mencapai Maroko. Ia diangkat sebagai pemimpin kaum Berber zenata, dan menjadikan Fez sebagai ibu kotanya, diatas reruntuhan kota Romawi kuno, Volabulis. Kota baru itu berkembang dengan pesat, padat penduduknya dengan berbondong-bondongnya para emigran Muslim baik dari afrika maupun dari Andalusia ke pusat pemerintahan Idrisiyah tersebut. Fez menjadi pusat kaum Syorfa atau Syurafa (bentuk jamak dari syarif,orang mulia), yakni para keturunan cucu Nabi SAW, Hasan dan Husain ibn Ali ibn Abi Thalib, yang menjadi factor penting dalam sejarah perkembangan Maroko. Kekuasaan Idrisiyah yang ada dikota-kota, tanpa menguasai desa-desa akhirnya terpecah-pecah dimasa pemimpin mereka, Muhammad al-Muntasir pada tahun 213-221.Kekuaaan mereka dibagi-bagikan kepada saudara-saudara al-muntasir yang banyak jumlahnya. Musuh-musuh mereka yang terdiri dari suku Berber, dengan mudah dapat memukulnya. Disamping itu muncul pula ancaman musuh yang lebih besar, yakni Daulah Fatimiyah yang dipimpin oleh Mahdi Ubaidillah. Yahya IV (292-310) terpaksa mengakui kekuasaan Fatimiyah, dan Fez dapat diduduki oleh dinasti baru yang bercorak Syi’ah tersebut pada tahun 309. Baru menjelang akhir pemerintahannya,Idrisiyah dapat menguasai pelosok Maroko. Tetapi bani umaiyah yang berkuasa diSpanyol memukul Idrisiyah tahun 363 dan keluarga terakhir dinasti yang kalah itu dibawa ke Cordova.Tiga atau empat dasawarsa setelah jatuhnya bangsa yang beraliran Syi’ah itu berdiri lagi keluarga jauh dari Idrisiyah,yakni Hammudiyah yang berkuasa di Algeciras dan Malaga sebagai salah satu penguasa dari Muluk at-Tawaif.
9.      Dinasti Hamdaniyah
Ketika kerajaan Ikhsidiyah berkuasa di Utara Mesir, muncul kerajaan lain yaitu kerajaan Hamdaniyah yang berpaham Syiah. Nama kerajaan berasal dari nama pendirinya yaitu, Hamdan ibn Hamdun, yang berasal dari suku Arab Taghlib. Kerajaan ini terbagi menjadi dua pihak, Mosul dan Aleppo.
Pihak Mosul dengan para pemerintahannya:
a)      Abu al-Hayja Abdullah (293 H/905 M)
b)      Nashir al-Daulah al-Hasan (17 H/929 M)
c)      Uddad al-daulah Abu taghlib (358 H/ 969 M)
d)     Ibrahim dan Al-Husein (379-389 H/981-991 M)
Pihak Alleppo dengan pemerintahannya seperti:
a)      Saif al-daulah Ali (33 H/945)
b)      Sa’d al-daulah syarif I (356 H/967 M)
c)      Sa’id al-daulah sa’id (381 H/991 M)
d)     Ali II (392 H /1002 M)
e)      Syarif II (394 H/1004 M)
Kerajaan Hamdani terkenal sebagai pelindung sastra Arab terutama Saif al-Daulah. Beberapa tokoh ternama seperti al-Farabi, Al-Isfahani dan Abu al-Firus. Kerajaan Hamdani adalah benteng kekuatan dari pada serangan Rom ke wilayah kekuasaan islam.
Selepas tahun 356 H dan 358 H, kerajaan Hamdani merosot dari tangan-tangan penggantinya. Pada umumnya mereka saling berebut kekuasaan antara keluarga sendiri. Akibatnya mereka jatuh ke tangan Kerajaan Fatamiah.
10.  Dinasti Aghlabiyah
Dinasti Aghlabiyah adalah salah satu Dinasti Islam di Afrika Utara yang berkuasa selama kurang lebih l00 tahun (800-909 M). Wilayah kekuasaannya meliputi Ifriqiyah, Algeria dan Sisilia. Dinasti ini didirikan oleh Ibnu Aghlab (Mufradi, 1997:116). Para penguasa Dinasti Aghlabiyah yang pernah memerintah adalah sebagai berikut:
a)      Ibrahim I ibn al-Aghlab (800-812 M)
b)      Abdullah I (8l2-817 M)
c)      Ziyadatullah (817-838 M)
d)     Abu ‘Iqal al-Aghlab (838-841 M)
e)      Muhammad I(841-856 M)
f)       Ahmad (856-863 M)
g)      Ziyadatullah (863- M)
h)      Abu Ghasaniq Muhammad II (863-875 M)
i)        Ibrahim II (875-902 M)
j)        Abdullah II (902-903 M)
k)      Ziyadatullah III (903-909 M)
Aghlabiyah memang merupakan Dinasti kecil pada masa Abbasiyah, yang para penguasanya adalah berasal dari keluarga Bani al-Aghlab, sehingga Dinasti tersebut dinamakan Aghlabiyah. Awal mula terbentuknya Dinasti tersebut yaitu ketika Baghdad di bawah pemerintahan Harun ar-Rasyid. Di bagian Barat Afrika Utara, terdapat dua bahaya besar yang mengancam kewibawaannya. Pertama dari Dinasti Idris yang beraliran Syi’ah dan yang kedua dari golongan Khawarij.
Dengan adanya dua ancaman tersebut terdoronglah Harun ar-Rasyid untuk menempatkan balatentaranya di Ifrikiah di bawah pimpinan Ibrahim bin Al-Aghlab. Setelah berhasil mengamankan wilayah tersebut, Ibrahim bin al-Aghlab mengusulkan kepada Harun ar-Rasyid supaya wilayah tersebut dihadiahkan kepadanya dan anak keturunannya secara permanen. Karena jika hal itu terjadi, maka ia tidak hanya mengamankan dan memerintah wilayah tersebut, akan tetapi juga mengirim upeti ke Baghdad setiap tahunnya sebesar 40.000 dinar. Harun ar-Rasyid menyetujui usulannya, sehingga berdirilah Dinasti kecil (Aghlabiyah) yang berpusat di Ifrikiah yang mempunyai hak otonomi penuh. Meskipun demikian masih tetap mengakui akan kekhalifahan Baghdad (Hoeve,1994: 65).
Pendiri Dinasti ini adalah Ibrahim ibn al-Aghlab pada tahun 800 M. Pada tahun itu Ibrahim diberi provinsi Ifriqiyah (Tunisia Modern) oleh Harun al-Rasyid sebagai imbalan atas pajak tahunan yang besarnya 40.000 dinar dan meliputi hak-hak otonom yang besar (Bosworth,1980:.46). Untuk menaklukkan wilayah baru dibutuhkan suatu proses yang panjang dan perjuangan yang besar, namun tidak seperti Ifriqiyyah yang sifatnya adalah pemberian.
Dinasti Aglabiyah berkuasa kurang lebih dari satu abad, mulai dari tahun 800-909 M. Nama Dinasti Aglabiyah ini diambil dari nama ayah Amir yang pertama, yaitu Ibrahim bin al-Aglab. Ia adalah seorang pejabat Khurasan dalam militer Abbasiyah. Pada tahun 800 M. Ibrahim I diangkat sebagai Gubernur (Amir) di Tunisia oleh Khalifah Harun ar-Rasyid. Karena ia sangat pandai menjaga hubungan dengan Khalifah Abbasiyah seperti membayar pajak tahunan yang besar, maka Ibrahimi I diberi kekuasaan oleh Khalifah, meliputi hak-hak otonomi yang besar seperti kebijaksanaan politik, termasuk menentukan penggantinya tanpa campur tangan dari penguasa Abbasiyah. Hal ini dikarenakan jarak yang cukup jauh antara Afrika Utara dengan Bagdad. Sehingga Aglabiyah tidak terusik oleh pemerintahan Abbasiyah.
Pemerintahan Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak yang muncul dari Kharijiyah Barbar di wilayah mereka. Kemudian di bawah Ziyadatullah I, Aglabiyah dapat merebut pulau yang terdekat dari Tunisia, yaitu Sisilia dari tangan Byzantium 827 M, dipimpin oleh panglima Asad bin Furat, dengan mengerahkan panglima laut yang terdiri dari 900 tentara berkuda dan 10.000 orang pasukan jalan kaki. Inilah ekspedisi laut terbesar. Ini juga peperangan akhir yang dipimpin panglima Asad bin Furad karena itu, ia meninggal dalam pertempuran. Selain untuk memperluas wilayah penaklukan terhadap Sicilia juga bertujuan untuk berjihad melawan orang-orang kafir. Wilayah tersebut menjadi pusat penting bagi penyebaran peradaban Islam ke Eropa Kristen.
Aspek yang menarik pada Dinasti Aghlabiyah adalah ekspedisi lautnya yang menjelajahi pulau-pulau di Laut Tengah dan pantai-pantai Eropa seperti pantai Italia Selatan, Sardinia, Corsica, dan Alpen. Selain itu juga berhasil menaklukan kota-kota pantai Itali, Brindisi, Napoli, Calabria, Totonto, Bari, dan Benevento. Dan pada tahun 868 M, mampu menduduki Malpa. Dengan berhasilnya penaklukan-penaklukan di atas Dinasti Aghlabiyah menjadi Dinasti yang kaya, sehingga para penguasa Aghlabiyah antusias dalam bidang pembangunan.
Keberhasilan penguasaan seluruh pulau Sisilia inilah yang membuat Aglabiyah unggul di Mediterania Tengah. Kemudian Aglabiyah melanjutkan serangan-serangannya ke pulau lainnya dan pantai-pantai di Eropa, termasuk berhasil menaklukan kota-kota pantai Italia Brindisi (836/221 H.) Napoli (837M), Calabria (838 M), Toronto (840 M ), Bari (840 M), dan Benevento (840 M). Karena tidak tahan terhadap serangan berkepanjangan dari pasukan Aghlabiyah pada Bandar-bandar Itali, termasuk kota Roma, maka Paus Yohanes VIII (872– 840 M) terpaksa minta perdamaian dan bersedia membayar upeti sebanyak 25.000 uang perak pertahun kepada Aglabiyah.
Pasukan Aglabiyah juga berhasil menguasai kota Regusa di pantai Yugoslavia (890 M), Pulau Malta (869 M), menyerang pulau Corsika dan Mayorka, bahkan mengusai kota Portofino di pantai Barat Italia (890), kota Athena di Yunani-pun berada dalam jangkauan penyerangan mereka.
Dengan keberhasilan penaklukan-penaklukan tersebut, menjadikan Dinasti Aglabiyah kaya raya, para penguasa bersemangat membagun Tunisia dan Sisilia. Ziyadatullah I membangun masjid Agung Qairuan, sedangkan Amir Ahmad membangun masjid Agung Tunis dan juga membangun hampir 10.000 benteng pertahanan di Afrika Utara. Tidak cukup itu, jalan-jalan, pos-pos, armada angkutan, irigasi untuk pertanian (khususnya di Tunisia Selatan, yang tanahnya kurang subur), demikian pula perkembangan arsitektur, ilmu, seni dan kehidupan keberagamaan.
Selain sebagai ibu kota Dinasti Aghlabiyah, Qoiruan juga sebagai pusat penting munculnya mazhab Maliki, tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, seperti Sahnun yang wafat (854 M) pengarang mudawwanat, kitab fiqih Maliki, Yusuf bin Yahya, yang wafat (901 M), Abu Zakariah al-Kinani, yang wafat (902 M), dan Isa bin Muslim, wafat (908 M). Karya-karya para ulama-ulama pada masa Dinasti Aghlabiyah ini tersimpan baik di Masjid Agung Qairuan.
a)      Langkah-langkah Pemimpin Aghlabiyah
1)      Penguasa Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak Kharijiyah Berber di wilayah mereka.
2)      Dilanjutkan dengan dimulainya proyek besar merebut Sisilia dari tangan Bizantium pada tahun 827 M, dibawah Ziadatullah I yang amat cakap dan energik, dengan meredakan oposisi internal di Ifriqiyyah yang dilakukan Fuqaha’ (pemimpin–pemimpin religius) Maliki di Qayrawan (Cairovan). Disamping itu, suatu armada bajak laut dikerahkan, sehingga membuat Aghlabiyah unggul di Mediterania Tengah dan membuat mereka mampu mengusik pantai Italia Selatan, Sardinia, Corsica, dan Meriteran Alp. Kemudian Aghlabiah juga berhasil merebut Malta pada tahun 868 M. Daerah-daerah tersebut yang menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Aghlabiyah. Dengan demikian, pada tahun 878 M sempurnalah penguasaan atas Sisilia, kemudian pulau itu dibawah pemerintahan Muslim. Pertama di bawah kekuasaan Aghlabiyah dan kedua di bawah Gubernur-Gubernur Fathimiyah, sampai penaklukan oleh Norman pada abad XI. Pulau itu menjadi pusat bagi penyebaran kultur Islam ke Eropa Kristen.
b)     Peninggalan-peninggalan Bersejarah Dinasti Aghlabiah
Aghlabiyah adalah pembangun yang penuh semangat. Diantara bangunan-bangunan peninggalan Aghlabiah adalah:
1)      Pembangunan kembali Masjid Agung Qayrawan oleh Ziyadatullah I.
2)      Pembangunan Masjid Agung Tunis oleh Ahmad.
3)      Pembangunan karya-karya pertanian dan irigasi yang bermanfaat, khususnya di Ifriqiyah selatan yang kurang subur.
c)      Kemunduran Dinasti Aghlabiyah
Menjelang akhir abad IX, posisi Aghlabiah di Ifqriqiyah menjadi merosot. Hal ini disebabkan karena amir terakhirnya yaitu Ziyadatullah III tenggelam dalam kemewahan (berfoya-foya), dan seluruh pembesarnya tertarik pada Syi’ah, juga propaganda Syi’iah, Abu Abdullah. Perintis Fatimiyah, Mahdi Ubaidillah mempunyai pengaruh yang cukup besar di Barbar, yang akhirnya menimbulkan pemberontakan militer, dan Dinasti Aghlabiyah dikalahkan oleh Fatimiyah (909 M), Ziyadatullah III di usir ke Mesir setelah melakukan upaya-upaya yang sia-sia demi untuk mendapatkan bantuan dari Abbasiah untuk menyelamatkan Aghlabiah (Bosworth,1993:47).
11.  Dinasti Fatimiyah
Fatimiyah merupakan Dinasti Syi’ah Isma’iliyah yang pendirinya adalah Ubaidillah al-Mahdi yang datang dari Syiria ke Afrika Utara yang menisbahkan nasabnya sampai ke Fatimah putri Rasulullah dan isteri Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib. Karena itu menamakan Dinasti Fatimiyah (Hoeve, 1994: 8). Namun kalangan Sunni mengatakan Ubaidiyun. Konsep yang digunakan adalah Syi’ah radikal Isma’iliyah dengan doktrin-doktrinnya yang berdimensi politik, agama, filsafat, dan sosial. Serta para pengikutnya mengharapkan kemunculan al–Mahdy.
Ubaidillah dengan dukungan kaum Barbar, pertama dapat mengalahkan Gubernur-Gubernur Aghlabiyah di Ifriqia, Rustinia Khoriji di Tahar dan menjadikan Idrisiyah Fez sebagai bawahannya, saat pemerintah pertama kali ialah di al-Mahdiyah sekitar Qairawan yang kemudian Fatimiyah mengembangkan sayapnya ke daerah sekitarnya serta menduduki Mesir yang kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Kairo (al-Qohirah “yang berjaya”) atas prakarsa jenderal Jauhar Atsaqoli (Mufrodi,1997: 116).
Dalam bersaing dengan pemerintahan Abbasiyah, Fatimiyah memindahkan ibukotanya dari al-Mahdi ke Kairo. Dan Juga memberi gelar kepada Khalifah-Khalifah Fatimiyah sebagai Khalifah sejati. Begitu juga dia menyebarkan dai-dainya keluar Mesir yang mereka itu lulusan dari Universitas al-Azhar. Pada masa pemerintahan Fatimiyah timbul perang Salib dan muncul gerakan-gerakan Syi’ah yang ekstrim yang disebut Druze yang dipimpin oleh Darazi (Bosworth, 1993: 71).
Fathimiyyah adalah Dinasti syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khalifah atau imam di Afrika dan Mesir tahun 909–1171 M, selama lebih kurang 262 tahun. Para kahlifah tersebut adalah:
1.      ‘Ubaidillah al Mahdi (909-924 M)
2.      Al–Qa’im (924-946 M)
3.      Al–Manshur (946-953 M)
4.      Al–Mu’izz (953-975 M)
5.      Al–‘Aziz (975-996 M)
6.      Al–Hakim (996-1021 M)
7.      Azh–Zhahir (1021-1036 M)
8.      Al–Musthansir (1036-1094 M)
9.      Al Musta’li (1094-1101 M)
10.  Al–Amir (1101-1131 M)
11.  Al–Hafizh (1131-1149 M)
12.  Azh–Zhafir (1149-1154 M)
13.  Al–Faiz (1154-1160 M)
14.  Al–‘Adhid (1160–1171 M)
Namun sejak tahun 1131 M, merupakan masa peralihan pemerintahan dari “Khalifah” ke “wali”. Hal ini terjadi ketika Dinasti Fatimiyah diperintah oleh al–Hafizh (sebagai wali bukan sebagai Khalifah).
Pada tahun 1094 M, setelah al-Muntasir wafat, terjadi perpecahan dalam gerakan Isma’iliyah, yaitu kelompok Nizar yang sangat ekstrim dan Musta’ali yang lebih moderat. Dia mempertahankan kekhalifahan, namun basis kespiritualan lebih banyak melemah. Berdirinya Dinasti ini bermula menjelang abad ke-X, ketika kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan wilayah kekuasaannya yang luas tidak terkordinir lagi. Kondisi seperti inilah yang telah membuka peluang bagi munculnya Dinasti-Dinasti kecil di daerah-daerah, terutama di daerah yang Gubernur dan sultannya memiliki tentara sendiri. Kondisi ini telah menyulut pemberontakan-pemberontakan dari kelompok-kelompok yang selama ini merasa tertindas serta memberi kesempatan bagi kelompok Syi’ah, Khawarij, dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik.
Dinasti Fathimiyah bukan hanya sebuah wilayah gubernuran yang independen, melainkan juga merupakan sebuah rezim revolusioner yang mengklaim otoritas universal. Mereka mendeklarasikan adanya konsep imamah yakni para pemimpin dari keturunan Ali yang mengharuskan sebuah redefinisi mengenai pergantian sejarah Imam atau mengenai siklus eskatologis sejarah.
Dinasti Fathimiyah berkuasa mulai (909–1173 M) atau kurang lebih 3 abad lamanya. Dinasti ini mengaku keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Fatimah az-Zahro. Kelompok Syi’ah berpendapat bahwa Ismail bin Ja’far as-Sadiq yang wafat (765 M), bukannya Musa saudaranya Ismail, yang berperan sebagai imam ketujuh menggantikan ayah mereka (imam Ja’far). Berdasarkan kepemimpinan Ismail inilah sebuah gerakan politik keagamaan Ad da’wah Fatimiyah diorganisir. Gerakan ini berhasil merealisir pertama kali pembentukan pemerintahan Syi’i yang eksklusif. Sedangkan kebanyakan kaum sunni yang mengatakan bahwa Dinasti Fatimiyah keturunan dari Ubaidillah al-Mahdi, disebut Dinasti Ubaydiun (Khalifah I Dinasti Fatimiyah) dan berasal dari Yahudi.
Gerakan Syi’ah Fatimiyah ini membuktikan pada Dunia, bahwa potensi doktrin mesianik dan sentralistik. Walaupun Syi’ah menganggap Ismail sebagai Imam mereka, tetapi Isma’il tidak berperan secara independen, karena ia mati muda, bahkan sebelum ayahnya (Imam Ja’far). Kondisi inipun tidak menghalangi perkembangan doktrin Ismaili, dengan dominasi dari bani Abbasiyah, karena dua golongan ini merasa bersaudara. Ini berangkat dari Umul Fadhl pernah menyusui Husain anak Fatimah dan Ali, ketika ia melahirkan Dotham. Jadi menurut mereka bani Abbasiyah dan Syi’ah Fatimiyah merupakan saudara sesusuan.
Keberhasilan menancapkan doktrin Ismaili, dalam perkembangannya mampu memberi perlindungan imam-imam mereka di Salamiyah, Siria dan telah memudahkan pengorganisasian dakwah Fatimiyah. Meskipun dakwah Fatimiyah ini dimulai sejak dini, namun baru pada masa Abu Ubaidillah Husein, generasi keempat setelah Ismaili, baru mulai berkembang pesat. Doktrin dakwah populer yang disebarkan pada saat itu ialah berhaknya anak Ubaidillah atas posisi penyelamat (al-Mahdi). Doktrin ini menggunakan sistem jaringan para agen (du’ah jamak dari da’i), sehingga sangat efektif dan terorganisir secara rapi.
Ubaidillah yang memimpin dakwahnya dari Salamiyah dan Siria ke Afrika Utara, dimana propaganda Syi’ah telah berkembang dengan pesat. Ia memimpin dakwahnya dengan memenangkan dukungan luas dari daerah-daerah yang kurang diperhatikan oleh Kholifah Abbasiyah. Lewat da’i seperti Ali bin Fadl al-Yamani dan Ibnu al-Hawsyab al-Kufy, Yaman, termasuk ibu kotanya, dapat direbut. Dengan dikuasainya Yaman, ia dapat menyebarkan para da’i ke berbagai daerah, termasuk Afrika Utara, belahan timur antara Arabia dan India. Juga Afrika Barat dengan da’i Abu Abdullah asy-Syi’i. Yang mengemukakan konsep akan datangnya Imam Mahdi , dari keturunan Nabi. Para da’i tersebut akhirnya berhasil menjadikan kaum Barbar sebagai pendukung kepemimpinan Ubaidillah al-Mahdi. Selanjutnya, atas dukungan besar inilah, asy-Syi’i berhasil menduduki Roaqadah, pusat pemerintahan Dinasti Aghlabiyah. Akhirnya al-Mahdi yang baru menggantikan ayahnya, datang ke Tunis untuk dinobatkan sebagai Khalifah (909 M).
Karena tidak menguasai daerah kekuasaannya, maka ia banyak menggantungkan pada da’i, seperti asy-Syi’i. Namun karena yang disebut belakangan rupanya banyak memberikan harapan dan konsesi terhadap penduduk lokal, maka ia dianggap kurang memenuhi program al-Mahdi yang luas. Kemudian al-Mahdi membersihkan figur-figur yang dicurigai, termasuk asy-Syi’i. Dalam masa pemerintahannya, untuk memperluas kekuasaannya, yang bermaksud memberikan kompensasi pada kaum Barbar, ia mengadakan ekspedisi wilayah laut tengah, seperti; Genoa, Sisilia, Mesir. Keberhasilan pemerintahan Fatimiyah ini ditandai dengan pindahnya pusat pemerintahan ke Kairo. Hampir seluruh daerah Afrika Utara bagian Barat dapat dikuasai Fatimi, terutama setelah menaklukan wilayah Maghrib yang dipimpin Jawhar asy-Siqilli (969 M) dan menaklukkan Dinasti terakhir di Fusthath Ikhsyidiyyah. Disana juga mulai membangun ibu kota baru di Mesir, yaitu al-Qohirah (970 M) serta Masjid al-Azhar sebagai pusat pendidikan para da’i dan Khalifah al Muizz pindah ke ibu kota baru tahun (973 M).
Dinasti Fatimiyah ini akhirnya makin berkembang dalam berbagai aspek kehidupan, karena ditopang dengan kekuasaan yang luas dan mampu membangkitkan berbagai macam aksi yang bersifat wacanis (keilmuan), perdagangan, keagamaan, walaupun peralihan kekuasaan ke wilayah timur, berlahan-lahan melenyapkan kekuasaan mereka dibagian Barat. Terbukti, wakil mereka di Tunis, Bani Ziri (1041 M) menyatakan tak terikat dengan pemerintahan Fatimiyah.
Pada masa pemerintahan al-Mustanshir (1036-1094 M) Dinasti Fatimiyah mencapai puncak kekuasaannya setelah terlibat konflik dengan Yunani tentang masalah Suriah. Para Khalifah Fatimi umumnya membina hubungan damai dengan Byizantium, kemudian bersatu karena ancaman-ancaman Petualang Seljuk dan Trukmen di Suriah dan Anatholia pada abad II. Tetapi pada akhir abad 11 terjadi aksi Salib I yang mengancam penguasa-penguasa Turki Suriah. Para Khalifah Fatimiyah, pada pertengahan abad 12 bekerja sama dengan Dinasti Zangiyyah; Nuruddin dari Aleppo dan Damasqus untuk melawan tentara Salib (The Crusaders II). Setelah Ascalon jatuh ke tangan tentara Salib, Dinasti Fatimiyah mulai terpecah-belah. Para Khalifah kehilangan kekuasaan dan para Wazirnya (Gubernur) memegang kepemimpinan ekskutif dan militer. Dari sini Dinasti Fatimiyah di akhiri oleh serangan Sahadin (Shalahudin), keponakan yang cakap sebagai pengganti Syirkuh yang menguasai Mesir (1173 M) di bawah pemerintahan Nuruddin putra Zangi dari Dinasti Ayyubiyah.
Sekitar tahun 1171 M, Dinasti Fatimiyah ini berakhir. Dinasti ini banyak mencapai kemajuan peradaban dan peningkatan ekonomi dan penyebab kemunduran dan kehancuran Fatimiyah disebabkan karena perpecahan di antara para khalifahnya (Glasse,1996:43).
a)        Perjalanan Pemerintahan
Menurut As’adi (2001:77), dalam perjalanan pemerintahannya, Daulah Fathimiyyah melalui dua fase, yaitu :
1)      Fase Konsolidasi (969-1021 M)
Pada fase ini sempat terjadi perang saudara antara Turki dan Barbar, yang keduanya merupakan kelompok yang turut mendirikan Dinasti Fathimiyyah. Barbar memberikan dukungan sepenuhnya kepada Daulah Fathimiyyah karena awalnya Barbar-lah yang mengusai anggota pemerintahan. Banyak diantara bangsa Barbar yang diangkat menjadi pemerintahan. Keadaan ini berlangsung sampai masa pemerintahan Al – Muizz li Dinillah. Sedangkan pada masa pemerintahan Az Zahir dan Al – Munthasir Khalifah lebih dekat dengan keturunan Turki. Sehingga muncullah dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar, sejak saat itulah Barbar kehilangan kedudukan dalam pemerintahan. Untuk lebih mengenal keadaan dalam fase ini, baik tentang pemimpin/Khalifah, roda pemerintahan, kebijakan pemerintah, dan situasi yang dihadapinya, akan dijelaskan sebagai berikut:
Al–Mahdi (909-924 M)
Ubaidillah al–Mahdi adalah Khalifah pertama Dinasti Fathimiyyah. Ia datang dari Afrika Utara, dimana propaganda Syi’i telah menciptakan kondisi yang baik bagi kedatangannya. Dengan dukungan kaum Barbar Ketama, dan menumbangkan Gubernur-Gubernur Aghlabiyah di Ifriqiyyah dan Rustamiyah Khariji di Tahari, dan menjadikan Idrisiyah Fez sebagai penguasa bawahannya.
Pada tahun 909 M, dialah yang memproklamasikan berdirinya khilafah Fathimiyyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia dibantu oleh Abdullah Asy-Syafi’i dalam mengkonsolidasikan khilafahannya di Tunisia. Dalam proses tersebut, pada tahun 920 M, ia telah berhasil mendirikan sebuah kota yang baru dan dijadikan sebagai ibukota, yaitu Mahdiah yang terletak di pesisir pantai Tunisia. Selama menjalankan pemerintahannya, ia telah berhasil menghalau para pemberontak yang dipimpin oleh Abu Abdullah al Husyain dan memperluas wilayahnya sampai propinsi Fez di Maroko bahkan telah merebut Alexandria. Perlawanan juga datang dari kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umaiyah di Andalusia maupun kelompok Khawarij dan Barbar (Hoeve, 1994:10).
Al–Qa’im ((924-946 M)
Setelah al–Mahdi meninggal, ia diganti oleh putranya yang bernama Abdul Qasim dan bergelar Al–Qa’im. Ia meneruskan kebijakan yang diambil ayahnya dengan mengirimkan armadanya dan mampu menghancurkan pesisir selatan Perancis, Genoa dan sepanjang pesisir Calabria tahun 934 M. Akan Tetapi ia tidak berhasil dalam memadamkan pemberontakan oleh Abu Yazid yang berlangsung selama tujuh tahun. Abu Yazid yang berulangkali menaklukan pasukan Al–Qa’im akhirnya berhasil mengepung Susa. Dengan wafatnya Al–Qa’im pada tahun 946 M, maka berakhirlah kekuasaannya dan dilanjutkan oleh putranya Al–Manshur.
Al–Manshur (946-953 M)
Perjuangan yang dilakukan oleh ayahnya telah mencapai keberhasilan yang gemilang dibawah kekuasaannya. Ia adalah seorang pemuda yang cerdik dan energik hingga ia berhasil menghentikan pemberontakan Abu Yazid yang terjadi di masa pemerintahan ayahnya. Ia berhasil menundukkan Abu Yazid dan pasukannya. Bahkan mereka turut membantu ekspansi hingga ke seluruh Afrika, disanalah ia membuat kota yang diberi nama al–Mashuriyah.
Al–Mu’iz (953-975 M)
Keberhasilan yang telah dicapai Al–Manshur dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abu Tamim Ma’ad dengan gelar al Mu’iz. Ia telah membuat pencerahan pada Dinasti Fathimiyyah, dengan melaksanakan kebijaksanaan besar, yaitu :
·           Pembaharuan dalam bidang administrasi dengan mengangkat seorang wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.
·           Pembangunan ekonomi, dengan memberi gaji khusus pada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya.
·           Toleransi beragama (juga aliran) dengan mengadakan empat lembaga, peradilan di Mesir, dua untuk madhab syi’ah dan untuk madhab sunni (Yatim,1993: 282).
Setelah basis kekuasaan di Tunis kuat, Khalifah Fathimiyyah dapat menguasai Mesir pada tahun 969 M. Penguasaan ini diawali dengan diutusnya panglima Jauhar al–Katib as–Siqili dengan perlengkapan dan kekayaan yang diperoleh dari basis mereka di Ifriqiyah sebagai persiapan ke arah Timur. Jauhar berhasil memasuki Fustat dan menyingkirkan Dinasti Ikhsidiyyah. Setelah Mesir dapat dikuasai, ia membangun sebuah ibukota baru di Mesir yaitu Kairo Baru (al–Qahirah,artinya yang berjaya) (Bosworth, 1993: 71).
Kairo dibangun dengan sejumlah istana kebesaran dan masjid-masjid agung yang merupakan sebuah kota kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan (Lapidus, 1999: 536). Masjid itu adalah masjid Al Azhar yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pengembangan ilmu pengetahuan dan selanjutnya masjid ini menjadi sebuah akademik dan pada kurun waktu itu Al Azhar menjadi Universitas yang sangat terkenal dikalangan akademik (As’adi, 2001:115).
Selama 23 tahun, masa kepemimpinan al-Mu’iz, pemerintahannya berjalan gemilang. Ia meninggal pada tahun 975 M. Dialah Khalifah termashur dalam kekhalifahan Fathimiyyah di Mesir. Ia mempunyai kelebihan–kelebihan baik di bidang seni, satra dan pengajaran ditambah dengan pengetahuannya yang luas, maka tidak heran jika pada masa Al–Muiz inilah awal kemajuan Fathimiyyah.
Al–‘Aziz (975-996 M)
Al–Aziz putra Al–Muiz dengan sifat pemberani, bijaksana, penyayang, ramah dan pendamai membuatnya berhasil mengadakan ekspansi wilayah secara besar-besaran. Seluruh Syiria sebagian Mesopotamia, dan dari pesisir Eupharates sampai Atlantik telah berhasil dikuasainya, bahkan saat itu Fathimiyyah menjadi rival yang berat bagi Abbasiyah di Baghdad.
Rupanya ia mewarisi keahlian ayahnya dibidang seni. Ini tampak pada arsitektur Golde Palace (tempat yang sangat indah), The Perl Pavilion (Paviliun yang luasannya banyak terbuat dari mutiara) dan masjid ayahnya di kuburan Karava. Pada masa inilah Dinasti Fathimiyyah mencapai puncak kejayaannya.
Al-Hakim (996-1021 M)
Al–Hakim adalah seorang penguasa yang sangat kejam, ia membunuh sejumlah tokoh kerajaan tanpa alasan. Ini disebabkan karena usianya yang masih muda (11 tahun) ketika menjadi penguasa menggantikan ayahnya pada tahun 996 M, sehingga dengan mudah gubernurnya yang tak bermoral yang bernama Barjawan dapat menguasainya dengan penuh.
Pada awal pemerintahannya, tidak ada kestabilan. Secara komparatif kaum Kristen dan Yahudi diperlakukan dengan baik. Bahkan sebagian dari mereka menduduki jabatan yang tinggi dalam negara. Selama pemerintahan Al–Hakimlah gerakan religius Syi’i yang ekstrem, yaitu Druze muncul di Suriah Selatan dan Lebanon, karena Al–Hakim memberikan semangat pada pendirinya, yaitu da’i Al–Darazi, maka Druze memandang Khalifah Al–Hakim sebagai titisan Tuhan (Bosworth, 1993:72).
Meskipun kekejaman mewarnai kekhalifahannya, ia berhasil membangun banyak masjid, dan bangunan yang paling terkenal sampai sekarang yaitu Dar al-Hikmah yang dibangun tahun 1306 M, tempat bertemunya berbagai pujangga dan mempromosikan pendidikan dan Syiah.
2)      Fase Parlementer

Setelah melalui fase konsolidasi, selanjutnya Dinasti Fathimiyyah memasuki fase parlementer. Suatu fase dimana banyak sekali muncul permasalahan–permasalahan yang rumit sebagai suatu kelanjutan dari kekuasaan/kejayaan yang dicapai pada fase konsolidasi. Masa ini disebut juga dengan “Ahdu Mufuzil Awzara” atau masa pengaruh menteri-menteri mulai dari Az Zahir, sampai dengan Al ‘Adhid. Pada fase ini memperlihatkan kemunduran tatanan politik, yakni periode peperangan antar fraksi-fraksi militer dan pembagian negeri ini menjadi sejumlah iqta’ yang dikuasai oleh pejabat-pejabat-pejabat militer yang berpengaruh (Lapidus, 1999: 538).
Sebuah peperangan telah terjadi dalam fase ini yakni perang Salib. Perang yang terjadi di awal kekuasaan al-Munthasir ini diawali dengan ekspansi yang dilakukan Fathimiyyah dari Mesir sampai ke Palestina dan Syiria. Perang Salib semula terbentuk dari serangan balik bangsa Eropa yang bersifat umum terhadap kekuatan Muslim di wilayah Laut Tengah. Terjadinya aksi Salib (Crusade) pertama pada akhir abad kelima, dan ini lebih mengancam penguasa-penguasa Turki di Syiria daripada Fathimiyyah, karena sebetulnya saat itu Fathimiyyah tidak menguasai wilayah di Utara Asealon di Palestina. Melalui jalur laut dan darat pasukan Eropa bergerak ke arah timur. Antara 1099-1109 M mereka menaklukan Edessa, Antioch, dan Tripoli, dan mendirikan sebuah kerajaan Latin di Yerussalem. Dewan pendeta Latin menguasai pemerintahan Kristen di kota suci ini, tetapi sekte-sekte Kristen timur tidak disisihkan begitu saja.
Respon Muslim terhadap perang Salib ini cukup lamban, bahkan respon tersebut cenderung pada upaya pengaturan Mesir dan Syiria kedalam sebuah imperium Muslim. Daerah-daerah yang merasa tidak mampu menghadapi ancaman perang Salib membuka pintu untuk mengadakan kerjasama militer dengan negara-negara Islam lainnya. Namun secara bertahap serangan balik Muslim semakin gencar yang dapat digambarkan melalui tiga fase (Lapidus, 1999:542). Fase pertama terjadi sebelum Fathimiyyah ditaklukan oleh Ayyubiyah. Sedangkan pada fase kedua dan ketiga Nur Al Din sudah mulai berkuasa.
2.    Kemunduran Dinasti Fatimiyah
Sesudah berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz, pamor Dinasti Fatimiyyah mulai menurun. Kalaupun pada masa al-Munthasir sempat mengalami kejayaan, itu tidaklah seperti apa yang telah dicapai oleh al-Aziz.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Dinasti Fathimiyah adalah:
·         Para penguasa yang selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah.
·         Adanya pemaksaan ideologi Syi’ah kepada masyarakat yang mayoritas Sunni.
·         Terjadinya persaingan perebutan wazir.
·         Kondisi al-‘Adhid (dalam keadaan sakit) yang dimanfaatkan oleh Nur ad-Din.
Dalam kondisi khilafah yang sedang lemah, konflik kepentingan yang berkepanjangan diantara pejabat dan militer. Merasa tidak sanggup, akhirnya al-Zafir meminta bantuan kepada Nur al-Din dengan pasukan yang dipimpin oleh Salah al-Din Al-Ayyubi. Mula-mula ia berhasil membendung invasi tentara Salib ke Mesir. Akan tetapi kedatangan Salah al Din untuk yang kedua kalinya tidak hanya memerangi pasukan Salib, tetapi untuk menguasai Mesir.
Dengan dikalahkannya tentara Salib sekaligus dikuasainya Mesir, maka berakhirlah riwayat Dinasti Fatimiyah di Mesir pada tahun 1171 M yang telah bertahan selama 262 tahun.
3.         Kemajuan-Kemajuan Dinasti Fatimiyah
Selama kurun waktu 262 tahun, Fatimiyah telah mencapai kemajuan yang pesat terutama pada masa Al-Muiz, Al-Aziz dan Al-hakim. Kemajuan-kemajuan itu mencakup berbagai bidang, yaitu:
·         Kemajuan dalam hubungan perdagangan dengan Dunia non Islam, termasuk India dan negeri-negeri Mediteramia yang Kristen.
·         Kemajuan di bidang seni, dapat dilihat pada sejumlah dekorasi dan arsitektur istana.
·         Dalam bidang pengetahuan dengan dibangunnya Universitas Al–Azhar.
·         Di bidang ekonomi, baik sektor pertanian, perdagangan maupun industri.
·         Di bidang keamanan.
4.         Peninggalan Bersejarah Dinasti Fatimiyah
Di antara peninggalan Dinasti Fatimiyah, ada dua bangunan yang amat bersejarah dan keberadaannya hingga kini masih bisa dirasakan, bahkan mengalami perkembangan pesat. Peninggalan-peninggalan itu adalah:
·         Universitas Al–Azhar yang semula adalah masjid sebagai pusat kajian. Masjid ini didirikan oleh al-Saqili pada tanggal 17 Ramadlan (970 M). Nama Al–Azhar diambil dari al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi SAW dan istri Ali bin Abi Thalib, imam pertama Syi’ah.
·         Dar al-Hikmah (Hall of Science), yang terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh al-Ma’mun di Baghdad.
12.  Dinasti Ayyubiyah
Ayyubiyah adalah sebuah Dinasti Sunni yang berkuasa di Dyar Bakir hingga tahun 1429 M. Dinasti ini didirikan oleh Salahuddin al Ayyubi, wafat tahun 1193 M (Glasse, 1996:143). Ia berasal dari suku Kurdi Hadzbani, putra Najawddin Ayyub, yang menjadi abdi dari putra Zangi bernama Nuruddin.
Keberhasilannya dalam perang Salib, membuat para tentara mengakuinya sebagai pengganti dari pamannya, Syirkuh yang telah meninggal setelah menguasai Mesir tahun 1169 M. Ia tetap mempertahankan lembaga–lembaga ilmiah yang didirikan oleh Dinasti Fathimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syiah menjadi Sunni (Yatim, 2003:283).
Penaklukan atas Mesir oleh Salahuddin pada 1171 M, membuka jalan bagi pembentukan madzhab-madzhab hukum sunni di Mesir. Madzhab Syafi’i tetap bertahan di bawah pemerintahan Fathimiyah, sebaliknya Salahuddin memberlakukan madzhab-madzhab Hanafi (Lapidus, 1999:545). Keberhasilannya di Mesir tersebut mendorongnya untuk menjadi penguasa otonom di Mesir.
Najmudin Ayub adalah seorang yang berasal dari suku Kurdi Hadzbani dan menjadi panglima Turki 1138 M, di Mosul dan Aleppo, dibawa pemerintahan Zangi Ibnu Aq-Songur. Demikian juga adiknya Syirkuh, mengabdi pada Nuruddin, putra Zangi 1169 M. Syirkuh berhasil mengusir raja Almaric beserta pasukan salibnya dari Mesir. Kedatangan Syirkuh ke Mesir karena undangan Khalifah Fatimiyah untuk menggusir Almaric yang menduduki Kairo. Setelah Syirkuh meninggal 1169 M digantikan Shalahuddin (kaponakannya) sebagai pemimpin pasukan. Pertama-tama ia masih menghormati simbol-simbol Syi’ah pada pemerintahan Al-Adil Lidinillah, setelah ia diangkat menjadi Wazir (Gubernur). Tetapi setelah al-Adil meninggal 1171 M, Shalahuddin menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah Abbasiyah (al-Mustadi) di Bagdad dan secara formal menandai berakhirnya rezim Fatimiyah di Kairo.
Keberhasilan Shalahuddin di Mesir mendorongnya menjadi penguasa otonom. Dalam mengkosolidasikan kekuatannya, ia banyak memanfaatkan keluarganya untuk ekspansi ke wilayah lain, seperti Turansyah. Saudaranya dikirim untuk menguasai Yaman 1173 M. Taqiyuddin, keponakannya disetting untuk melawan tentara Salib yang menduduki Dimyat. Sedang Syihabuddin, pamannya, untuk menduduki Mesir Hulu (Nubia). Kematian Nuruddin 1174 M menjadikan posisi Shalahuddin semakin kuat, yang akhirnya memudahkan penaklukan Siria, termasuk Damaskus, Aleppo dan Mosul. Akhirnya pada 1175 M, ia diakui sebagai sultan atas Mesir, Yaman dan Siria oleh Khalifah Abbasiyah. Di masa pemerintahan Shalahuddin, ia membina kekuatan militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa Muslim di kawasan lain. Ia juga mambangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam.
Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan barbar, Turqi dan Afrika. Disamping digalakkan perdagangan dengan kota-kota dilaut tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Atas dasar inilah, ia melancarkan gerakan ofensif guna merebut al-Quds (Jerusalem) dari tangan tentara Salib yang dipimpin oleh Guy de Lusignan di Hittin, dan menguasai Jerusalem tahun 1187 M. Inipun tetap tak merubah kedudukan Shalahuddin, sampai akhirnya raja inggris Richard membuat perjanjian genjatan senjata yang dimanfaatkannya untuk menguasai kota Acre.
Sampai ia meninggal (1193 M), Shalahuddin mewariskan pemerintahan yang stabil dan kokoh, kepada keturunan-keturunannya dan saudaranya yang memerintah diberbagai kota. Yang paling menonjol ialah al-Malik al-Adil (saudaranya), dan keponakannya al-Kamil, mereka berhasil menyatukan para penguasa Ayubi lokal dengan memusatkan pemerintahan mereka di Mesir. Namun pada masa pemerintahan al-Kamil Dinasti Ayubiyah bertempat di Diyarbakr dan al-Jazirah, mendapat tekanan dari Dinasti Seljuk Rum dan Dinasti Khiwarazim Syah, kemudian al-Kamil mengembalikan Jerusalem kepada kaisar Frederick II yang membawa damai dan keberuntungan ekonomi besar bagi Mesir dan Siria. Hiduplah kembali perdagangan dengan kekuatan Kristen Mediterrania.
Setelah al-Kamil meninggal (1238 M) Dinasti Ayubiyah terkoyak oleh pertentangan-pertentangan intern. Pada pemerintahan Ash-Shalih serangan Salib 6 dapat diatasi, yang pemimpinya raja Prencis St. Louis ditangkap, tetapi kemudian pasukan budak (Mamluk) dari Turki merebut kekuasaan di Mesir. Ini secara otomatis mengakhiri pemerintahan Ayubiyah keseluruhan.
a)      Langkah-Langkah Yang Dilakukan Salahuddin
1)      Melancarkan jihad terhadap tentara-tentara Salib di Palestina
2)      Mempersatukan tentara Turki, Kurdi, dan Arab di jalan yang sama.
Dari Mesir, Shalahuddin juga dapat menyatukan Syiria dan Mesopotamia menjadi sebuah kesatuan negara Muslim. Pada tahun 1174 ia merebut Damascus, kemudian Alippo tahun 1185, dan merebut Mosul pada 1186.
Setelah kukuh kekuasaannya Shalahuddin melancarkan gerakan ofensif guna mengambil alih al-Quds (Jerussalem) dari tangan tentara tanpa banyak kesulitan. Ini berarti Jerussalem sekali lagi menjadi Muslim setelah delapan puluh tahun, dan orang-orang Frank tersingkirkan, meskipun hanya untuk sementara. Usaha besar-besaran telah dilakukan pasukan Salib dari Inggris, Perancis, dan Jerman antara tahun 1189 – 1192 M, namun tidak berhasil mengubah kedudukan Salahuddin. Setelah perang berakhir, Salahuddin memindahkan pusat pemerintahan ke Damascus.
b)     Perjuangan Setelah Salahuddin
Perjuangan Shalahuddin dalam merealisasikan tujuan-tujuan utamanya yaitu mengeluarkan kaum Salib dari Baitul Maqdis dan mengembalikan pada persatuan umat Islam, telah menghabiskan kekuatannya dan mengganggu kesehatannya. Ia meninggal dan dimakamkan di Damaskus pada tahun 1193 M, setelah 25 tahun memerintah.
Sebelum meninggal, ia membagikan kekaisaran Ayyubiyah kepada para anggota keluarga. Karena itu pengendalian dari pusat tetap berada di bawah kekuasaan Al-‘Adl dan Al-kamil, sampai Al-Kamil meninggal. Di bawah kedua sultan ini, kebijaksanaan aktivis Shalahuddin memberikan tempat sebagai hubungan detente dan damai dengan orangorang Frank.
Setelah kematian Shalahuddin, Ayyubiyah melanjutkan pemerintahan Mesir dan pemerintahan Syiria (sampai tahun 1260 M). Keluarga Ayyubiyah membagi imperiumnya menjadi sejumlah kerajaan kecil Mesir, Damaskus, Alleppo, dan kerajaan Mosul sesuai dengan gagasan Saljuk bahwa negara merupakan warisan keluarga raja. Meskipun demikian, Ayyubiyah tidak mengalami perpecahan, karena dengan loyalitas kekeluargaan Mesir diintegrasikan berbagai imperium. Mereka menata pemerintahan dengan sistem birokrasi masa lampau yang telah berkembang di negara-negara Mesir dan Syiria melalui distribusi iqta’ kepada pejabat-pejabat militer yang berpengaruh. Ayyubiyah secara khusus enggan melanjutkan pertempuran melawan sisa-sisa kekuatan pasukan Salib. Mereka lebih memprioritaskan untuk mempertahankan Mesir karena kesatuan mulai melemah. Pada tahun 1229 M Ayyubiyah menegosiasikan sebuah perjanjian dengan Fedrick II. Ini adalah puncak kebijaksanaan baru, dan pada periode damai inilah membawa keuntungan ekonomi yang besar bagi Mesir dan Syiria, termasuk hidupnya kembali perdagangan dengan kekuatan-kekuatan Kristen Mediterania (Bosworth, 1993:87) .
c)      Kemunduran Dinasti Ayyubiyah
Sepeninggal Al-Kamil tahu 1238 M, Dinasti Ayyubiyah terkoyak oleh pertentangan-pertentangan intern. Serangan Salib keenam dapat diatasi, dan pimpinannya, Raja Perancis St. Louis ditangkap. Namun pada tahun 1250 M keluarga Ayyubiyah diruntuhkan oleh sebuah pemberontakan oleh salah satu resimen budak (Mamluk)nya, yang membunuh penguasa terakhir Ayyubiyah, dan mengangkat salah seorang pejabat Aybeng menjadi sultan baru. Keruntuhan ini terjadi di dua tempat, di wilayah Barat Ayyubiyah berakhir oleh serangan Mamluk, sedangkan di Syiria dihancurkan oleh pasukan Mongol (Glasse, 1996:552). Dengan demikian berakhirlah riwayat Ayyubiyah oleh Dinasti Mamluk. Dinasti yang mampu mempertahankan pusat kekuasaan dari serangan bangsa Mongol.
d)     Kemajuan-Kemajuan Yang dan Peninggalan Dinasti Ayyubiyah
Sebagaimana Dinasti-Dinasti sebelumnya, Dinasti Ayyubiyah pun mencapai kemajuan yang gemilang dan mempunyai beberapa peninggalan bersejarah. Kemajuan-kemajuan itu mencakup berbagai bidang, diantaranya adalah:
1)      Bidang Arsitektur dan Pendidikan
Penguasa Ayyubiyah telah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan. Ini ditandai dengan dibangunnya Madrasah al–Shauhiyyah tahun 1239 M sebagai pusat pengajaran empat madzhab `hukum dalam sebuah lembaga Madrasah. Dibangunnya Dar al Hadist al-Kamillah juga dibangun (1222 M) untuk mengajarkan pokok-pokok hukum yang secara umum terdapat diberbagai madzhab hukum sunni. Sedangkan dalam bidang arsitek dapat dilihat pada monumen Bangsa Arab, bangunan masjid di Beirut yang mirip gereja, serta istana-istana yang dibangun menyerupai gereja.
2)      Bidang Filsafat dan Keilmuan
Bukti konkritnya adalah Adelasd of Bath yang telah diterjemahkan, karya-karya orang Arab tentang astronomi dan geometri, penerjemahan bidang kedokteran. Di bidang kedokteran ini telah didirikan sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat pikiran.
3)      Bidang Industri
Kemajuan di bidang ini dibuktikan dengan dibuatnya kincir oleh seorang Syiria yang lebih canggih dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik karpet, pabrik kain dan pabrik gelas.
4)      Bidang Perdagangan
Bidang ini membawa pengaruh bagi Eropa dan negara–negara yang dikuasai Ayyubiyah. Di Eropa terdapat perdagangan agriculture dan industri. Hal ini menimbulkan perdagangan internasional melalui jalur laut, sejak saat itu Dunia ekonomi dan perdagangan sudah menggunakan sistem kredit, bank, termasuk Letter of Credit (LC), bahkan ketika itu sudah ada uang yang terbuat dari emas.
5)      Bidang Militer
Selain memiliki alat-alat perang seperti kuda, pedang, panah, dan sebagainya, ia juga memiliki burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Disamping itu, adanya perang Salib telah membawa dampak positif, keuntungan dibidang industri, perdagangan, dan intelektual, misalnya dengan adanya irigasi.


















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Latar belakang disintegrasi pada Dinasti Abbasiyah adalah akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik.
2.      Di antara dinasti-dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, adalah:
Yang berbangsa Persia:
a)      Bani Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
b)      Bani Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
c)      Bani Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
d)     Bani Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).
e)      Bani Buwaih, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M).

Yang berbangsa Turki:

a)      Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).
b)      Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).
c)      Ghaznawiyah di Afganistan, (351-585 H/962-1189 M).
d)     Bani Seljuk/Salajiqah dan cabang-cabangnya:
·           Seljuk besar, atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib Tuqhril Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522H/1037-1127 M). Dan Sulthan Alib Arselan Rahimahullah memenangkan Perang Salib ke I atas kaisar Romanus IV dan berhasil menawannya.
·           Seljuk Kinnan di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M).
·           Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 M).
·           Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M).
·           Seljuk Ruum atau Asia kecil di Asia tengah(Jazirah Anatolia), (470-700 H/1077-1299 M).

Yang berbangsa Kurdi:

a)      al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).
b)      Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M).
c)      al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1250 M), didirikan oleh Sulthan Shalahuddin al-ayyubi setelah keberhasilannya memenangkan Perang Salib periode ke III.

Yang berbangsa Arab:

a)      Idrisiyyah di Maghrib, (172-375 H/788-985 M).
b)      Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).
c)      Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).
d)     'Alawiyah di Thabaristan, (250-316 H/864-928 M).
e)      Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).
f)       Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
g)      Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).
h)      Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).

Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:

a)      Umayyah di Spanyol.
b)      Fatimiyah di Mesir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar